7 Days to Remember (Day 7 - The End)

Thursday, May 29, 2014

Day 7


Rully
Pokoknya gue harus tau kenapa dari kemarin Hanni bertingkah aneh, ini hari terakhir liburan gue bareng dia dan gue mau ngomong semuanya ke dia. Dia mesti tau.
Hanni
Liburan udah mau kelar, dan gue ga mau perasaan campur aduk ini gue bawa balik. Semuanya harus gue lepas disini. Cukup satu tahun ya, yan. Cukup.
“Han, kita ke Wembley Stadium yuk, biar sorenya aja ke London Eye sekalian jalan-jalan malam. Gimana ?” Rully membuyarkan lamunan gue.
“Oke deh, gue juga udah kelar packing sebagian barang. Jadi gue bisa puas-puasin menikmati malam terakhir di sini.” Gue menjawab sambil menatap ke sekeliling. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua barang penting telah siap masuk ke dalam koper.
………………………………………..................................................…….
“Waaaaaaah sekarang kita ada stadion ke-sebelasannya England nih. Wembley Stadium.  Eh foto gue lagi rull, nih nih di sini nih.” Gue mencoba mengambil posisi tepat di depan pintu masuk stadium megah yang menjadi stadion terbesar kedua di Eropa setelah Camp Nou.
“Temen kerja kita di kantor pasti iri berat nih sama foto-foto gue semingguan ini. Biarin deh, yang penting gue bisa senang-senang setelah setahunan berkutat sama proposal dan anggaran dana di kantor, rull.” Gue berkomentar sambil melihat-lihat hasil foto di kamera yang menjadi senjata utama Rully di sini.
“Ya iyalah, setiap pindah tempat ada aja yang lo post di media social. Dasar.” Rully mengomentari kelakuan gue yang gak pernah bisa jauh dari media social.
 
“Ini 2014 rul, masanya globalisasi, informasi lebih cepat di dapat. Kalo emang bisa berbagi kebahagiaan dan rasa melalui gambar dan tulisan, kenapa enggak ?”
“Iya deh. Gue sih ngalah aja. Elo deh yang menang.” Kembali lagu Rully mengalah di debat kesekian kami, dan gue tersenyum penuh kemenangan.
 
“Well, berhubung kita sudah sampe di stadion terakhir di liburan kita kali ini. Gue mau ngasih tau sedikit info. Jadi Wembley Stadium yang dirancang oleh Foster & Partners dan Populous ini dapat menampung 90.000 bangku, secara merupakan stadion terbesar kedua di Eropa setelah Camp Nou. Tuh lihat deh, lengkungan baja yang terkenal di atapnya merupakan lengkungan baja struktur atap dengan bentangan tunggal terpanjang di dunia. Rentang lengkungan baja tersebut sendiri adalah 317 meter…….”
Rully mulai memberikan ceramah singkatnya mengenai stadion kesebelasan Inggris, dan gue kembali mengekor dibelakangnya bagaikan peserta tour. Here we go.
Rully
Hanni udah gak bad mood kayak kemarin, dia udah bisa kembali mengoceh tentang segala hal. Thank God. Semoga hari ini hari terakhir yang bisa berjalan lancar. Gue membatin dan tersenyum melihat Hanni yang sedang sibuk mengomentari foto-foto yang ada di kamera gue selama hampir semingguan ini. Perjalanan tur di Wembley Stadium tadi mengakhiri 7 stadion legendaries di inggris yang ingin gue kunjungin selama disini.
 
“Rul, kita naik ke London Eye nya kapan ?” Hanni menanyakan destinasi terakhir yang gue janjikan kepadanya.
 
“Sore ini. Yuk kita jalan sekarang. Udahan kan minumnya ?”
“Udah kok, yuk.”
Gue dan Hanni berjalan menyusuri kota dan berhenti di sekitar London Eye. Megahnya merupakan simbol ikonik modernitas Britania Raya sejak dibuka pada Maret tahun 2000, dan dapat mengangkut 800 penumpang dalam satu kali putaran atau setara dengan 11 bus double-decker. Tapi semua itu seakan menyadarkan gue bahwa ada sebuah kejujuran yang harus terungkap di sore ini, di hari ketujuh perjalanan gue dan Hanni.
 
“Yuk Han, kita naik.” Gue pun menarik lembut tangan Hanni untuk menaiki London Eye.
Hanni
Indah ya rull ? Tuh lihat, gue bisa lihat kota Inggris dari sini. Indah banget.” Gue berseru norak. My bad. Tapi entah kenapa sedari tadi gue merasa Rully berprilaku aneh, enggak kayak biasanya. Seakan dia menyembunyikan sesuatu dari gue dan membuatnya gelisah. Mungkin cuma perasaan gue aja.
“Rull, hari ini hari terakhir kita di Inggris. Hari terakhir gue di tutup dengan naik salah satu ikonik Inggris. Saat senja seperti ini lagi. Senja itu selalu indah ya. Terkadang banyak orang tidak menyadari bahwa senja yang ditawarkan Tuhan, bagaikan kegagalan yang menghampiri. Akan selalu ada di tengah-tengah, agar kita yakin bahwa malam akan segera dating. Begitu juga kegagalan, nyatanya ia ada untuk mengingatkan bahwa kita sudah berusaha dan akan segera mencapai impian kita. Bukannya yang berusaha keras yang akan segera berhasil ?”
Keheningan mendera di antara gue dan Rully.
“Kayak sekarang, kalo gue gak gagal sama Tian, mungkin impian gue buat jalan-jalan ke Inggris gak akan pernah terpikir dan terwujud sampai sekarang. Ya kan rull ?” Gue menikmati senja dan bertanya tanpa melihat kepadanya. Seakan bukan ingin dijawab, hanya ingin menyatakan ke diri gue sendiri.
“Han, lo masih mengingat sakit yang di berikan oleh Tian ?” Ada nada kehati-hatian yang dilontarkan oleh Rully ke gue, dan itu malah membuat gue tersenyum.

“Gue cuma manusia biasa yang gak segampang itu untuk amnesia. Gue pasti masih ingat di setiap inci rasa sakitnya. Tapi….” Gue menggantung ucapan, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri dengan kenyataan yang sebenarnya.
 
“Tapi apa ?” Rully bertanya perlahan.
“Tapi gue harus yakin bahwa Tian pergi demi kebaikan gue sendiri. Tuhan biarin dia pergi, agar gue bisa memikirkan diri gue sendiri. And here we are, ini salah satu impian gue. Menginjakkan kaki gue di Inggris. Mengganti rasa penat dengan setiap inci keindahan Britania Raya. Gue bersyukur Tuhan selalu punya cara-Nya tersendiri untuk menyembuhkan.” Gue menjawab pertanyaan Rully dengan mantap. Mengambil keputusan besar untuk merelakan memang tidak akan pernah mudah.

“Baguslah kalo emang kayak gitu. Itu berarti gue bisa ngenalin elo ke seseorang yang juga menjadi salah satu mimpi gue untuk bisa di ajak ke Inggris.” Tatapan Rully kini berubah serius menghadap gue.
 
“Oh ya ? Siapa ? Kok lo ga pernah cerita kalau udah memilih buat serius ? Gue kenal gak orangnya ? Atau jangan-jangan lo balikan sama Ririn ?”
 
Rully tertawa mendengar pertanyaan gue. “Gak balikan kok Han. Lo juga kenal kok orangnya. Fotonya juga ada di kamera gue.”
“Mana sini kamera lo. Gue cek lagi sini. Perasaan tadi gak ada deh foto cewek.” Beberapa saat gue bolak-balik memeriksa gambar di kameranya. “Mana sih ? Adanya Cuma foto gue doang dari awal sampe akhir.”

Rully menatap gue dan dengan lembut menggenggam kedua tangan gue yang memegang kamera. Sesaat dia menunjuk foto candid gue yang sedang tertawa lepas. “Dia orangnya Han. Orang yang entah sejak kapan menjadi impian gue untuk diajak ke Inggris, karena gue tau dia suka sejarah, Manchester United dan semua hal tentang inggris. Dan gue bersyukur sekarang impian gue terwujud.”
 
Gue speechless.
 
“Gue tahu lo mungkin kaget, karena hubungan pertemanan kita yang udah cukup lama. Gue juga takut apa yang gue ungkapin di hari ini bakal menghancurkan semuanya. Tapi, setelah melihat keberanian lo buat merelakan rasa buat Tian, gue juga harus berani untuk jujur di depan elo. Di bawah langit Inggris, di ketinggian kira-kira 135 meter, disaksikan langsung oleh senja dari atas London Eye. Gue pengen bilang kalo gue sayang sama elo, Hanni Raviolla. Gak peduli harus jam berapapun terbangun demi mendengar tangisan lo. Rengekan manja lo di saat meminta sesuatu. Mendengarkan semua celoteh lo tentang para pemain ganteng kesukaan lo. Ataupun memesankan iced chocolate di setiap pertemuan kita. Gue bakal tetep sayang sama lo. Entah sejak kapan, tapi hari ini rasa itu tetap ada.” Rully memuntahkan semua alasan dari setiap tingkahnya yang berbeda hari ini.
 
Gak terasa air mata gue mengalir satu persatu.
………………………………………………………………………………………
Rully
Di sore hari terakhir liburan di Inggris. Hanni belajar untuk meninggalkan semua lukanya di Inggris dan ingin kembali dengan kenangan manis tentang Inggris. Sedangkan gue, akhirnya, gue bisa ngomong semua yang gue rasain di depan dia. Walaupun akhirnya gak semanis yang gue harapin.
Seenggaknya, impian utama gue untuk pergi ke inggris terwujud bersama impian gue lainnya untuk mengajak wanita yang gue cintai untuk menikmati keindahannya.
“Rull, buru. Kita udah mesti boarding nih. Ngelamunin apaan sih ?” Hanni sudah berdiri mengomel dan berjalan mendahului menuju ke pintu boarding pesawat pulang ke Indonesia.
Good bye England, see you next time. Terimakasih untuk cerita selama tujuh harinya.

Hanni
“Gue gak tau harus ngejawab apa.”
“Lo gak perlu jawab kok. Gue kan gak nanya. Tapi, terimakasih ya udah dengerin semuanya. Lo bisa menjawab dengan pernyataan, kalau emang lo udah siap.”
 
Gue tersenyum mendengar ucapan bijak Rully yang gue tau, pasti susah untuk dia berkata jujur seperti itu. Hampir sepuluh tahun lebih gue kenal dia, dan baru sekarang gue dengar dia bertutur manis seperti itu. “Kita coba pelan-pelan mulai semuanya dari awal ya ?”
Rully pun tersenyum mendengar jawaban gue, dan gue yakin dia ngerti maksud gue.
 
“Rull…..”kemudian gue terdiam.
“Apa ?” Tatapan dan suaranya lembut banget.
 
“Gue laper.” Jawab gue sambil mengeluarkan senyum meringis.
 
Begitulah akhir cerita gue dan Rully selama 7 hari liburan di Inggris. Hidup gue mendadak berubah lebih baik mendengar pengakuannya sore itu. Meski gue dan dia gak bisa lagi disebut teman, karena kita mencoba untuk lebih dekat lagi walaupun tanpa hubungan yang pasti. Gue dan Rully pulang dengan cerita masing-masing. Semoga ini menjadi awal yang baru buat gue. Siapapun yang berkata bahwa yang pergi akan tergantikan dengan yang lebih baik lagi, gue sependapat dengannya.
Terimakasih untuk setiap pelajaran disetiap inci kehidupannya, England.
 
Wembley Stadium by Google.com
 
London Eye by Google.com

 
THE END
 
Akhirnya selesai ceritanya, tapi gak buat doanya. Semoga cerita-mepet-tiga-hari-nya dilirik sama mister.
Aamiin! :)



Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.

No comments:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS