7 Days to Remember (Day 1, Day 2, Day 3)

Wednesday, May 28, 2014


Day 1
Hanni
 
“RULLYYYY KITA DI TRAFALGAR SQUARE !!!”  Hanni setengah berteriak sambil membentangkan tangannya.
Gue pengen banget kesini waktu acara Royal Wedding, pengen banget jadi salah satu warga Inggris yang berdiri menghadiri perhelatan besar seperti pernikahan Prince William dan Kate Middleton. Gue juga pengen ikut dalam moonwalk massal, yang diadakan sehari setelah kematian King of Pop, Michael Jackson. Dengan banyak hiasan patung, Trafalgar Square juga memiliki satu patung khusus bernama Nelson Column, sebuah monument setinggi 50 meter untuk mengenang Laksamana Horatio Nelson yang tewas pada pertempuran Trafalgar.
Gue menarik tangan Rully yang sedang asik memotret pemandangan lalu lalang orang-orang di Trafalgar Square.
“Lo mesti fotoin gue disini, gue mau update di path nih.” Gue pun langsung mengambil posisi strategis di depan air mancur.
“Dasar lo maniak social media” ujar Rully sewot karena keasikannya terganggu, sambil mengarahkan lensanya ke gue.
Setelah menikmati pemandangan di Trafalgar Square, dan mengitari lorong demi lorong di Museum Sherlock Holmes gue menyeret langkah Rully menuju ke sebuah kedai kopi. Gue butuh iced chocolate. Gue tau ini gak nyambung, tapi yang suka kopi itu Rully, gue sih sukanya iced chocolate. Manis, karena hidup terkadang sudah terlalu pahit kayak kopi.

Rully

Badan gue masih Jet lag dan Hanni dengan tanpa dosanya udah nyeret gue kemana-mana. Ini baru hari pertama, dan Hanni entah dia terlalu excited atau memang gak merasakan capek berkeliling sana-sini.
Meski Jet lag, meski gue kekurangan asupan kopi dari semenjak menjejakkan kaki di Inggris, Gue rela melakukan semuanya demi kepuasan melihat Hanni bisa tersenyum lagi kayak sekarang.
“Jangan kecapekkan dulu Han, kita besok bakalan ngunjungin Buckingham Pallace sama Big Ben.” Gue mengingatkan Hanni dengan nada datar. Padahal kenyataannya gue pengen banget pake nada khawatir. Cuma gue yakin dia bakalan bengong dan ketawa kalo sampe itu benar kejadian.
“Siap bos! Gue juga mau istirahat dulu. Masih jetlag nih gue. Tapi, semuanya hilang mendadak tadi waktu gue bisa merasakan aura si Sherlock di Museum Sherlock Holmes. Pokoknya gue mau seneng-seneng semingguan menghabiskan hari di semua icon Inggris ini.”
“Pokoknya jangan lupa….” Belom sempat Rully menghabiskan perkataannya, gue udah tau jawabannya.
“Tujuh stadion legendaris di Inggris yang harus kita kunjungin.” Ucap Rully dan Hanni berbarengan.
“Gue udah hafal, itu kalimat sakti lo setiap kita ngebahas perjalanan ke sini.” Hanni mengomentari kalimat Rully barusan.
Rully Tersenyum. Ah, cowok berjambul lengkap dengan kaos lengan pendek andalannya ini melayangkan senyum manisnya ke gue. Seakan menggoda untuk mempunyai hubungan lebih dari sekedar sepuluh tahun pertemanan gue sama dia. Sayang, gue masih belum bisa menata hati setelah sebelumnya di porakporandakan oleh cowok brengsek, penghapus impian gue, Tian. Alasan gue buat menginjakkan kaki ke Inggris, bukan hanya karena gue emang pengen banget kesini, ketempat impian gue entah sejak kapan. Tapi juga karena gue sejenak ingin benar-benar melangkah pergi dan melepas penat. Benar-benar liburan. Karena disetiap sudut kota, gue selalu teringat dengan masa lalu dan kenangan pahit. Gue benci Tian, dengan segala keputusan sepihaknya, juga dengan caranya mengakhiri penantian gue terhadapnya. Kebohongan yang udah dia lakukan, membuat gue sejenak gak bisa berpikir sehat, beruntungnya, saat itu gue punya Rully. Dia sahabat gue yang paling tahu kapan harus mengeluarkan suara, atau hanya duduk bersanding diam menyeruput kopi hangat kesukaannya. Bahkan dia juga orang pertama yang memberikan pelukannya di pukul 03.00 pagi, saat gue membangunkannya melalui telepon dan bercerita tentang putusnya hubungan gue dan Tian. Hanya cukup 20 menit, dan dia sudah datang untuk menenangkan tanpa gue minta.
 
 
 
 
 
Trafalgar Square by Google.com
 
The Sherlock Holmes Museum by Google.com



Day 2

Rully
 
“Ull, gue udah cocok belom sih pake dress ini ? Gue pengen pake baju yang cakepan dikit nih buat ke Buckingham Pallace.” Hanni melayangkan pertanyaan sembari mematut diri di kaca.
“Udah han, udah cocok kok. Buruan, nanti kesiangan. Lo serba lelet nih, lama-lama gue tinggalin duluan nih ya.”
“Iya iya nih gue udah siap.”
“Lo tuh ya, atasannya sih boleh manis banget pake dress. Bawahnya tetep aja pake sneakers. Heran gue, gak ada cewek-ceweknya banget.” Gue berbicara sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas. Kebiasaan Hanni ketika sedang terburu-buru.
“Kita bakalan ke The Queen's House. Meski tidak pernah menerapkan dress code resmi, tetapi gak ada satu orang pun yang mengunjungi Buckingham Palace dengan pakaian lusuh. Kebanyakan menggunakan jas ataupun seragam kerja waktu mengunjungi ‘Rumah’ Sang Ratu Inggris itu, dan gue gak mau salah kostum.” Penjelasan Hanni ke gue selanjutnya persis seperti seorang guru sejarah kepada muridnya

“Iya, kita juga bakalan lanjut ke
The Clock Tower berdentang pertama kali pada 31 Mei 1859. Nama Big Ben sendiri berasal dari nama Sir Benjamin Hall, komisaris pada pembangunan Big Ben pada tahun 1858. Di puncak menara juga terdapat sebuah lonceng bernama Great Bell yang di sekitarnya ada 4 lonceng kecil bernama Little Bens. Juga terdapat sebuah prasasti dengan tulisan latin yang berbunyi: Domine Salvam Fac Reginam Nostrum Victoriam Primam atau O Lord, keep safe our Queen Victoria the First. Ya kan ?” Tambah gue dengan yakin.
 “Wah, lo tau juga ya. Gak nyangka lo tau banyak tentang Inggris.” Hanni menatap takjub ke arah gue.
“Baru sadar, tuan putri ? Buruan deh yuk.”
 
 
Sore hari di sepanjang jalan Big Ben.
 
“Ul, lo tau kenapa Big Ben bisa jadi salah satu Icon nya London ?” Tanya Hanni sambil memandang kegagahan jam besar di hadapannya.

“Kenapa ?” Gue malah balik nanya sambil memfokuskan lensa gue ke pemandangan manis Big Ben di sore hari menjelang malam.
“Karena dia pengingat waktu, ul. Biar orang-orang tetap ingat, gak peduli apapun yang terjadi entah itu sakit maupun seneng, waktu tetap berjalan. Buat ngingetin orang kayak gue, kalau hidup gak bakal nungguin gue, selama gue memeluk lutut seharian di kamar sehabis patah hati. Hidup bakal terus berjalan, bahkan saat gue pengen banget waktu berhenti sedetik saja. Berhenti untuk menjentikkan rasa sakitnya.” Jawab Hanni sambil terus menatap ke arah Big Ben.
“Big Ben itu keren kan ul ?” Lanjutnya lagi sambil tersenyum. Senyum seakan mencoba menerima semuanya.
Gue cuma bisa bergumam sambil memandangnya dari samping dan menjaganya untuk tetap baik-baik saja. Gue tau, sekarang yang dia butuhin cuma waktu untuk bermain dengan pikirannya sendiri. Itu Berarti tambahan waktu buat gue untuk memotret  candid wajahnya. Hanni selalu tampak lebih cantik ketika dia melamunkan sesuatu, gue selalu suka saat itu untuk diabadikan. Seperti sekarang.

Hanni

“Karena dia pengingat waktu, ul. Biar orang-orang tetap ingat, gak peduli apapun yang terjadi entah itu sakit maupun seneng, waktu tetap berjalan. Buat ngingetin orang kayak gue, kalau hidup gak bakal nungguin gue, selama gue memeluk lutut seharian di kamar sehabis patah hati. Hidup bakal terus berjalan, bahkan saat gue pengen banget waktu berhenti sedetik saja. Berhenti untuk menjentikkan rasa sakitnya.” Jawab gue sambil terus menatap ke arah Big Ben saat dia bertanya balik kenapa menurut gue Big Ben pantas jadi Icon Inggris.

Menurut gue Big Ben itu salah satu sang pengingat waktu, penyadar manusia. Ketika gue terjatuh dan berharap detik berhenti, waktu malah akan semakin cepat memutar hari. Seperti itu yang gue rasakan saat Tian memutuskan pergi dari hidup gue. Bagaimanapun cara gue untuk mengehentikan rasa sakit disetiap detik yang berputar, gue harusnya semakin bisa berdiri kokoh selayaknya Big Ben yang telah menjadi saksi bisu dari jutaan peristiwa perputaran waktu.
 

Buckingham Pallace by Google.com
 
Big Ben by Google.com


 
Day 3

Hanni

“Westminster Abbey juga merupakan tempat tradisional penobatan raja dan ratu Inggris serta pemakaman mereka. Orang tidak dikenal yang terakhir kali dimakamkan di Westminster adalah seorang prajurit Prancis pada tahun 1920. Pengantin wanita kerajaan selalu menaruh bunga pernikahannya pada makam prajurit tak dikenal di Westminster Abbey. Tradisi ini dimulai oleh Ibunda dari Ratu Elizabeth, saat menikah dengan Raja George VI….”
Sayup – sayup gue mendengar suara seorang pemandu yang sedang menjelaskan sekilas cerita tentang The Collegiate Church of St Peter, yang lebih dikenal dengan nama Westminster Abbey kepada peserta turnya. Gue takjub dengan keagungan gereja yang sudah berdiri lama namun tetap berdiri gagah. Kegagahannya mengingatkan gue dengan gereja Katedral yang ada di Jakarta, tapi masing-masing punya sisi manis dan ceritanya tersendiri.
“Gue gak ngebayangin, di sini adalah tempat Prince William dan Kate Middleton disahkan menjadi sepasang suami istri sehidup semati. Gue berharap semoga suatu saat, gue bisa bertemu orang itu. Seseorang seperti Prince William yang pantas untuk mendampingi dan gue dampingin sampe akhir hayat.” Gue melangkahkan kaki mengikuti lorong gereja ini seakan menjadi Kate Middleton yang digandeng oleh Prince William.
 
“Aamiin, semoga impian lo terwujud. Gue yakin kok takdir Tuhan udah menggariskan yang terbaik buat kehidupan lo sampe nanti lo menutup mata. Tapi……” Rully menggantung ucapannya.
“Tapi apa ul ?”
“Tapi gue gak yakin jodoh lo bisa kayak Prince William deh Han. Secara lo aja jauh dari figure Kate Middleton begitu. Hahahahahaha” Gelak Rully tak tertahan lagi dan itu menyebalkan terdengar di telinga gue.
“Nyebelin lo !” Tangan gue menyubit lengannya dan menikmati rintihan kesakitannya. “Emang enak.”

Rully

“Aamiin, semoga impian lo terwujud. Gue yakin kok takdir Tuhan udah menggariskan yang terbaik buat kehidupan lo sampe nanti lo menutup mata. Tapi……” Gue menggantung ucapan.
“Tapi apa ul ?”
Tapi semoga apa yang digariskan Tuhan itu adalah kehadiran gue di hidup lo untuk selamanya, Han. Gue yang akan mendampingi lo sampai akhir hayat.” Sayangnya gue Cuma bisa berbicara ini didalam hati.
“Tapi gue gak yakin jodoh lo bisa kayak Prince William deh Han. Secara lo aja jauh dari figure Kate Middleton begitu. Hahahahahaha” Gelak gue tak tertahan lagi dan itu membuat Hanni melayangkan cubitannya.
………………………

“Oke, ini adalah Stamford Bridge. Lo tau lah ya, tempat bernaungnya tim Chelsea FC. Dibuka pada tahun 1877 dan digunakan oleh London Athletics Club hingga tahun 1905, saat pemilik baru Gus Mears mendirikan Chelsea Football Club untuk menempati stadion tersebut. Stadion dengan kapasitas 41.837 kursi ini memiliki tribun yang dinamakan sesuai dengan nama mantan wakil ketua Chelsea, Matthew Harding, yang investasinya telah membantu transformasi klub pada awal dekade 1990-an.” Gue menjelaskan panjang lebar ke Hanni dan dia mendengarkan dengan seksama. Mukanya seperti dia tertarik dengan permainan kulit bundar. Padahal gue tau, yang dia suka dari sepakbola adalah pemainnya yang berwajah ganteng.
 
Gue hapal banget gimana dia teriak heboh bukan karena gol yang diciptkan oleh para pemain saat nobar atau nonton di apartemen gue. Tetapi saat dia lihat Christiano Ronaldo, De Gea, Gerrard, Oscar dan sederet nama pemain lainnya yang menurut dia memiliki tampang diatas rata-rata. Padahal gue yakin banget kalo gue juga gak kalah ganteng sama mereka. Walaupun gue menimpali setiap pernyataan histerisnya atau pertanyaan konyolnya dengan datar dan sewot, gue akan selalu jawab satu per satu dengan sabar, karena gue lebih memilih dia histeris dengan semua imajinasi berlebihannya daripada terduduk lemas dengan senyum getirnya.

Hanni
Gue gak tau banget secara pasti setiap nama yang udah Rully jelaskan ke gue, tapi 1 hal yang gue komentarin selain wajah ganteng para pemain di klub sepakbola. Kapan ya stadion bola di Indonesia bisa terawat rapi bahkan punya tur keliling kayak gini ?
 
 
 
  
Westminster Abbey (Outside) by Google.com
 
Westminster Abbey (Inside) by Google.com
 
 
Stamford Bridge (Chelsea FC) by Google.com
 
 

To Be Continued
 
 
 
 
 
 
Make a wish buat ke Inggris gratis bareng Mister Potato sih lanjut,
but first, let me take a selfie! :p




 

 

Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
 
 

No comments:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS