Please, stay.

Wednesday, July 26, 2017




Entah Kenapa belakangan ini marak sekali berita tentang kasus bunuh diri yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bahkan dengan rentang jarak waktu yang tidak terlalu lama, aksi ini bahkan dilakukan oleh mereka yang terbilang masih muda. Alasannya ? Bahkan beragam. Mulai dari karena sakit hati, hingga depresi. Bahkan tidak pandang jenis kelamin, baik itu wanita maupun pria.

Disini, saya cuma bisa membaca berita yang muncul di berbagai media dengan mencoba menelaah maksud dan tujuan para pelaku. Merasa legakah mereka sekarang atas hasil dari apa yang sudah mereka lakukan ? Ataukah hanya itulah cara yang paling aman dan masuk akal, yang mereka bisa lakukan untuk mengakhiri segala rasa sakit ataupun masalah yang mereka rasakan? Just wondering.

Tidak mencoba untuk menyalahkan para pelaku ataupun mereka yang disebut sebagai penyebabnya. Tapi ya, bukankah untuk setiap asap akan selalu ada api yang menjadi sumbernya ? Baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sedikit bercerita dan berbagi kisah, entah depresi atau tidak. Bukankah hampir setiap manusia pasti akan merasakan namanya sakit hati, ataupun merasa keadaan sedang memburuk ? Begitupun saya, manusia biasa. Pasti pernah. Memiliki masalah yang kalo diperumpamakan adalah “Gak berdarah, tapi kok sakit ya ?”. Bermacam-macam alasannya. Tapi satu hal yang pasti adalah, yang paling berkemungkinan untuk menyakiti seseorang dengan hebat, adalah mereka yang paling dekat dengannya,  right ?

Dengan segala asumsi dan kesotoy-an saya, entah kenapa saya merasa bahwa mereka yang se-depresi itu hingga terpikirkan untuk melakukan aksi bunuh diri. Pasti sudah se-sakit dan se-buntu itu untuk mengetahui arah ujung hidupnya. Feels like no one to staying beside them, padalah gak perlu melakukan hal bermacam-macam. Cuma untuk tetap ada dan memastikan bahwa suara mereka yang gemetar itu akan selalu ada yang mendengar, entah sebenar atau sesalah apapun itu. Ataupun sekedar untuk bersuara, “It’s okay to be not okay, let it out” dan menepuk pundak mereka. Karena rasa apapun itu dan beban sebesar apapun yang mereka rasakan, bisa jadi adalah sebongkah batu besar yang terbentuk tidak hanya dalam satu hari. Tertahan, tanpa sempat memecah dan membelah diri terlebih dahulu.





Mungkin juga mereka tengah mencoba untuk membangun dinding ke-optimis-an yang sempat runtuh, beberapa dari mereka mungkin akan bisa menyelesaikan tepat waktu hingga membentuk kastil yang tangguh, namun beberapa dari mereka memiliki lebih banyak terjal, hingga akhirnya tak sempat menyelesaikannya. Bukan hanya satu, tapi banyak. Bahkan dengan salah satu alasannya adalah untuk tidak menambah beban orang lain, mereka menahan apa saja yang sudah sewajarnya mereka muntahkan, tapi lagi-lagi harus mereka telan bulat-bulat. Tanpa sisa.

Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang menginginkan kehadirannya untuk menjadi beban bagi orang lain. Tapi entah kenapa, rasa itu akan muncul. Persepsi negatif yang mereka miliki akan diri sendiri, adalah buah hasil dari apa saja sikap yang mereka terima di setiap harinya,entah itu dari lingkup keluarga maupun yang lebih luas lagi. Beban akan lingkungan sekitar yang menuntut mereka untuk menjadi pribadi yang lebih baik, dengan perlakuan dimana mungkin kurangnya rasa apresiasi ketika mereka menang, dan tiadanya tempat kembali yang memaklumi ketika mereka pernah salah karena telah berani untuk mencoba. Tanpa perlu banyak tuduhan, tudingan hingga sikap yang menyudutkan baik secara verbal ataupun fisik. Because no one who knows best than other, but themselves.



Akan selalu ada luka yang mungkin tinggal dan tak terlupakan, untuk setiap penolakan yang mungkin secara tak sengaja orang lain lakukan. Penolakan untuk diterima, penolakan untuk didengar, hingga penolakan untuk sekedar berbagi cerita atas alasan apapun, entah sebenar atau setidak masuk akal apapun itu. Sehingga mereka akan menutup diri lebih rapat dari sebelumnya. Karena bukankah sudah menjadi sifat alamiah, untuk melindungi diri dari sesuatu hal yang sekiranya pernah menyakiti, mengantisipasi agar tidak merasakan sakit yang sama untuk kesekian kalinya.

Perihal kasus bunuh diri hanyalah satu dari banyak hasil pemikiran salah yang akhirnya "dibenar-benarkan" oleh sang pelaku, dan masih banyak lagi sikap yang seharusnya tidak dilakukan namun terjadi di sekeliling, ketika kita mungkin lebih bisa membuka mata.

Jadi, untuk mengantisipasi akan kejadian yang sama terjadi pada mereka yang kita sayangi, mungkin jangan lagi terlalu menyalahkan siapapun ataupun lemparan tanya kenapa mereka sebelumnya tidak pernah bercerita ketika semuanya terlihat sudah terlambat, karena mereka sendiri pun adalah korban. Lebih baik mulai tanyakan pada diri kita masing-masing. Apakah kita sudah memberikan sedikit waktu tenang untuk menerima dan mendengarkan mereka?



Yuk, belajar sedikit lebih menerima dan mendengarkan dari biasanya.









Jambi, Akhir July 2017

Ketika tanda tanya dan rasa sedang bergumul menjadi satu, dan postingnya berhubungan dengan bahasan sebelumnya.
#stophatred #stopmentalillness






 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS