Surat untuk Ibu — Enam

Wednesday, June 28, 2023

 Assalamualaikum, Ibuku …

Tepat sudah 40 hari di hari ini. Harinya cantik, bu. Malam nanti malam takbiran, dan besok lebaran Idul Adha. Lebaran pertama tanpa Ibu. I’m just wondering how it feels… pasti akan berbeda dengan biasanya. It won’t be the same anymore, bu.

Kakak hanya bisa mengingatkan dari jauh, semua persiapan lebaran yang mungkin akan terasa lebih sepi karena kehilangan. Semoga rumah akan selalu bisa menjadi tempat kembali pulang  dan tempat ternyaman bagi kami ya, bu. Seperti pelukan dan petuah Ibu.

Hari ini Kakak puasa Arafah, biasanya pasti Ibu yang mengingatkan. Tidak memaksakan, tapi supaya Kakak bisa menjalankannya dengan kesadaran dan keinginan pribadi. Ada untungnya ternyata Kakak berpuasa selain berpahala, Kakak berusaha bertahan untuk tidak terlalu meluapkan emosi selepas ibadah. Sulit sekali. Padahal itu waktu paling melegakan untuk Kakak meminta pada Tuhan dengan suara paling kencang, meski hanya dalam relung hati. Tapi ini masih siang ya, ga tau nanti malam. Hehe.

Biasanya jika kondisi Kakak sedang tidak baik-baik saja, pesan singkat Ibu akan tiba-tiba masuk. Entah membicarakan apa atau hanya sekedar menanyakan kabar. Seringkali Kakak merasa tidak perlu bercerita banyak, tidak perlu menunjukkan di depan mata, tapi Ibu akan “hadir” dalam bentuk yang tak terduga. Membuat Kakak merasa tidak akan pernah sendiri.

Bu, hari ini rasa tidak nyamannya datang terlalu pagi. Ternyata untuk menjadi tenang ketika tanpa pegangan, Kakak tidak menyangka akan membutuhkan Butterfly hug sebagai penenang. Iya, selepasnya tentu ditambah dengan istighfar. Persis seperti yang biasa Ibu akan ucapkan dalam kondisi apapun.

40 hari, bu.

40 hari dan masih terngiang suara juga cuplikan memori dengan jelas.

40 hari kami melewati griefing journey dan berusaha pulih dengan cara masing-masing.

40 hari rindu Kakak dan adik-adik hanya bisa dibisikkan lewat sujud dan doa, kapanpun, dimanapun. 

40 hari yang akan datang, tapi ternyata tidak akan pernah siap. Menjadi ikhlas pun masih jalan yang panjang.

Semoga Tuhan mendengar pinta dengan nafas terengah dan suara terisak Kakak dan Adik-adik ya, bu. Pelan-pelan untuk tenangkan, untuk ikhlaskan.

Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. 



BSD, Tepat 40 hari terus berusaha mengikhlaskan diri.


Surat untuk Ibu — Lima

Tuesday, June 27, 2023

 Assalamuallaikum Ibuku …

Bu, lagi-lagi Kakak harus meminta maaf karena ketidakhadiran yang seringkali Kakak lakukan. Kali ini Kakak belum bisa pulang karena alasan yang mungkin akan Kakak ceritakan lain kali. Adik-adik juga sudah Kakak beritahu. Lagi-lagi peran Kakak harus digantikan sementara oleh mereka. Kakak bersyukur punya mereka sebagai belahan jiwa Kakak lainnya.

Bu, hari ini Kakak sudah bersiap sedari sore. Kakak pinjam baju Ibu ya. Sebelum kembali, Kakak sempat membawa beberapa baju Ibu untuk Kakak kenakan. Dress warna hitam. Khusus Kakak gunakan hari ini untuk menemui Ibu dalam doa, bersama dengan yang lainnya.

Bu, Kakak sudah titip pesan ke adik-adik, jika nanti Kakak ingin melakukan panggilan video. Kakak sedang tidak ingin melewati hari ini sendiri, bu. Meski seadanya nanti, semoga harap dan doa Kakak juga semua yang menyayangi Ibu, bisa menghangatkan, bisa meringankan, bisa melapangkan, bisa menemani Ibu ya.

Bu, sekali lagi ucap maaf, karena sudah melewatkan beberapa minggu tanpa menaburkan bunga dan mengucapkan doa langsung di pusara. Tapi Kakak yakin, Ibu akan mengerti seperti biasanya. Ibu akan bilang jika Kakak tidak perlu memaksakan kehendak. Ibu akan bilang semuanya akan baik-baik saja selama Kakak merapal doa pada Tuhan. 

Tapi bu, kali ini Kakak benar-benar tidak baik-baik saja.

Meski sudah berusaha, nyatanya Kakak masih belum lulus untuk tidak mengeluarkan air mata kala mengingat, masih belum mampu menahan diri. Ternyata menjelang 40 hari, Kakak masih sama saja seperti halnya hari pertama.

Kakak coba lagi ya, bu. Tenang ya, bu. 

Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa.


BSD, menjelang 40 hari kepergian belahan jiwa.

Surat untuk Ibu — Empat

Monday, June 26, 2023

 Assalamualaikum, Ibuku…

Hari ini Kakak iseng buat konsultasi. Karena rasa tidak nyaman yang Kakak rasakan semakin menjadi. Kakak juga semakin sulit bernapas, bu. Rasanya udara di sekitar Kakak menipis dan sulit untuk dihirup. Bingung. Baru pertama kalinya Kakak sampai sebegininya. Biasanya kalau Kakak sedang bingung, Kakak bisa tanya Ibu. Mulai saat ini, Kakak coba tanya ke orang yang mungkin bisa membantu ya. Ibu tenang aja.

Hasilnya? Tentu seperti yang sudah beberapa teman Kakak juga coba diagnosis. Tadi Kakak sudah coba tanya ke beliau yang lebih profesional, gapapa kok, tapi butuh proses. Gak tau butuh berapa lama. Semoga Kakak bisa melewati fasenya dan tidak berkubang duka semakin lama. Semoga apa yang Kakak bisa kenang, adalah segala hal baiknya. Walaupun sekarang Kakak udah ga bisa minta doa Ibu, tapi Kakak berusaha untuk bisa kembali lagi seperti biasa. Ibu tenang aja.

Mungkin jika tidak lewat surat, jika saja Ibu pun masih ada, dan Kakak ada di fase seperti ini. Kakak gak akan dengan mudah menceritakan hal seperti ini. Ketakutan Kakak akan menambah satu lagi hal yang harus ibu khawatirkan dan pikirkan. Tapi kali ini hanya dengan surat ini, Kakak bisa lebih lega menceritakan berbagai hal. Iya, sehabis sholat pun tetap akan Kakak ceritakan keluh kesah dan keinginan yang seringkali diluar batas manusia. Terutama untuk Ibu, semoga doa Kakak didengar Tuhan ya. Kalau tidak hari ini, akan Kakak selalu coba setiap waktu. Jadi, Ibu tenang aja.

Tapi bu, Kakak boleh bilang kangen yang sedikit lebih banyak ga hari ini? Boleh ya? 

Semoga rindu Kakak diwakili oleh seuntai doa yang akan terus selalu Kakak ucapkan,

Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa. 



BSD, mencoba menikmati proses dan rindunya akan hidup tanpa Ibu.

Surat untuk Ibu — Tiga

Saturday, June 24, 2023

Assalamualaikum, Ibukuu…

Rindu juga ternyata sudah beberapa minggu tidak ada pesan singkat masuk yang menanyakan kabar, atau dering telepon sekedar ingin menceritakan beberapa hal penting ataupun tidak.

Bu, tau ya Kakak lagi rindu?

Seperti biasanya jika Kakak sedang tidak baik-baik saja, adanya kabar Ibu yang tiba-tiba datang, meski tanpa dimulai. Seakan tau bahwa Kakak sedang butuh sandaran. Kali ini, tidak lama dari paragraf utama diketik, Adik-adik melakukan telepon video dan mengabarkan jika sedang mengunjungi Rumah Ibu. Kami membacakan doa bersama meski jauh. Tepat seperti yang Kakak butuhkan. Kehadiran Ibu yang diwakili oleh Adik-adik. Allahuakbar, gimana bisa ya, bu?

Lagi-lagi, ada kalanya Kakak tidak Ibu biarkan sendirian melewati hari—yang ternyata masih saja berat.

Terimakasih ya,  bu. Sudah mengajarkan kami untuk saling tidak meninggalkan bagaimanapun kondisinya. Kakak masih tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika harus melewati semuanya sendiri.

Bu, surat ini sempat terhenti untuk Kakak tuliskan. Tapi di hari sabtu yang sudah lewat sebulan ini, Kakak masih belum bisa melewati dengan normal dan seperti biasa tanpa ada hal yang mengganggu.

Sedari malam tadi Kakak masih belum mudah memejamkan mata, paginya pun Kakak masih menolak bangun lebih cepat. Perut Kakak sedang tidak bisa di ajak kompromi, mual. Bingung. Seperti sabtu di beberapa minggu lalu, tapi kali ini Kakak berusaha melewatinya tanpa tangis sedu.

Sabtunya Kakak mungkin saja tidak akan pernah sama lagi, tapi Kakak berusaha untuk mencoba memeluk rasa pahitnya agar tidak lebih menggigit. Berteman dengan luka memang tidak mudah kan, bu?

Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa


BSD, masih dalam usaha mengikhlaskan.

Surat untuk Ibu — Dua

Saturday, June 10, 2023

 Assalamualaikum, Ibukuu.

Malam tadi, kakak tanpa sadar tidak bisa tidur hingga lewat pukul 03.00 Wib. Kakak takut akan ada panggilan mendadak yang membuat kakak hampir tidak memijak bumi. Biasanya, sebelum pukul 01.00 kakak akan terlelap karena terlalu lelah menangis setiap harinya. Maaf ya, bu. Masih belum bisa menahan air mata yang jatuh, entah karena doa selepas sholat atau memang ingin melepaskan rasa sesak.

Bu, beberapa hari terakhir ketika kembali ke rumah. Kakak selalu merasa. tidak tenang disekitar pukul 10.00 WIB. Tidak tau entah karena benar memang hanya perasaan, atau memang alam sadar kakak memainkan perannya. Waktu terasa lebih lambat, dunia terasa lebih menghimpit, udara lebih sulit didapatkan. I’m lost, bu.

Bu, sekitar 1 bulan sebelum telepon itu berdering, kakak sering membayangkan “bagaimana rasanya jika kehilangan dunia?”. Masih terekam jelas bagaimana Kakak mendengar isak tangis tanpa penjelasan panjang, yang membuat jantung terasa berhenti sepersekian detik. Harinya telah datang, dan ternyata jawabannya adalah tidak akan pernah siap.                                                                                                   

Langkah kaki Kakak menuju ke Bandara saat itu seakan sudah lari paling cepat yang bisa kakak lakukan, nyatanya…. Kakak melihat banyak yang berjalan lebih dulu di depan. Badan kakak seakan tidak memijakkan kaki ke bumi.  I felt like it was the scariest and the longest flight I ever had. 

Jika hari-hari berjalan dengan biasa, mungkin kakak akan mengabari Ibu, atau berpikir untuk membuat kejutan dengan kepulangan kakak. Tapi kali itu berbeda. Kakak hanya bisa mengirimkan pesan singkat untuk meminta Ibu menunggu Kakak sebentar, hanya sebentar lagi. Meskipun Kakak tau, tidak akan pernah Ibu baca isi pesannya. Kakak juga terlalu takut untuk meminta panggilan suara ataupun video kepada sesiapapun di rumah sakit, doa kakak bahwa ini hanya kesalahan, ternyata kalah dengan kenyataan pahit dan ketetapan Tuhan.

Tapi kepulangan Kakak kali itu disambut banyak orang, adik-adik dan ayah mengantarkan Kakak menemui Ibu sembari meminta maaf karena merasa telat mengabari dan tidak memberikan waktu Kakak bertemu Ibu di rumah sakit. Kakak tidak bisa membayangkan bagaimana mereka merelakan kepergian Ibu dengan sadarnya. Adik meminta langsung penghentian RJP, karena ia tau, dada Ibu sakit kan beberapa bulan terakhir? Jika itu Kakak, mungkin tidak akan bisa kakak melakukan apa yang ia lakukan. Lagi-lagi, maaf Kakak bahkan masih tidak sesadar itu dalam mengambil keputusan.

“Ibu cantik sekali”. Tapi tidak sempat Kakak ucapkan. Wajah Ibu penuh ketenangan, meski lebih dingin dan kaku dari biasanya Kakak cium. Pun tak sempat Kakak cium tangan Ibu, tanda hormat Kakak buat Ibu, yang terakhir kalinya.

Hari itu berjalan begitu cepat, banyak teman Kakak yang juga turut mengantar Ibu hingga ke liang kubur. Sodara dari jauh juga beberapa ada yang langsung membeli tiket untuk mengantarkan Ibu ke rumah baru. Meski mungkin waktunya memang tidak cukup untuk melihat Ibu ketika belum tertutup tanah dan bunga. Tapi semuanya berdoa untuk Ibu, semuanya sayang, semuanya berusaha dengan sangat keras untuk bisa ikhlas.

Pagi ini, Kakak berusaha untuk menghabiskan sarapan bubur yang saat itu tidak mampu Kakak habiskan.

Sebagaimana dunia berjalan dengan semestinya, berputar dengan sebaik-baiknya, tapi dunia kakak berhenti. Tepat dengan deringan telepon pagi itu.

Besok-besok Kakak cerita lagi ya. Adik-adik sehat, Ayah juga. Tenang ya, bu.


Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa


BSD, hari sabtu ke empat yang dilewati tanpa Ibu.



Surat untuk Ibu — Satu

Thursday, June 08, 2023

 

“Assalamualaikum, ibuuu”

Masih terekam dengan jelas bagaimana kelakarmu, agar anakmu ini tidak lupa mengucapkan salam ketika memulai atau mengakhiri percakapan.

Tulisan ini tepat kakak tulis di 20 hari semenjak kepergian ibu.

Semenjak kakak udah ga punya cara lain untuk berbicara, selain selalu memohon kebesaran Tuhan dalam menjaga ibu selepas sholat. Semoga doa kakak dan adik-adik, bisa memeluk dan menjaga ibu dalam keheningan paling dalam, ya.

Maaf ya bu, kemarin kakak sempat telat untuk datang dan tidak sempat melakukan ritual yang berulang kali kakak lakukan ketika pulang; Cium punggung dan telapak tangan Ibu berkali-kali, dan mencium dahi-pipi mu juga berulangkali. Hanya bisa sekali, bahkan kakak tidak mampu keras kepala untuk melawan mereka yang menahan kakak melakukannya ketika ingin lebih, “Ikhlasin, jangan sampai air matanya kena ya”. 

Lucu ya, bahkan kakak harus menahan diri di detik terakhir yang berjalan seakan begitu cepat.

Berat, bu.

Padahal ucapan terakhir kakak sebelum pamit ke bandara sebelumnya, “kita belum sempat cerita banyak”. Terlalu sibuk menyiapkan perhelatan lebaran hari raya Idul Fitri, yang siapa sangka… be our last eid.

Maaf kakak belum bisa jadi anak yang Ibu andalkan ketika harus bolak balik rumah sakit, berulangkali malah diwakili oleh adik-adik. Bahkan seringkali kakak telat mengetahui bahwa Ibu sedang rawat inap, karena tidak ada satupun yang mengabari. Takut kakak khawatir ya? Maaf ya, sudah buat Ibu dan semuanya merasakan hal yang seharusnya tidak dilakukan.

Seringkali Ibu melayangkan protes karena kakak jarang memberi kabar meski jauh. Karena kakak pasti akan bercerita tentang banyak hal, yang mungkin saja membuat Ibu akan terus memikirkannya. Cukup sejauh ini Ibu tau bahwa kakak di sini baik-baik saja, dan bersama orang yang tepat.

Bu, semoga kakak bisa membedakan tangis sesak yang memang dalam ingin mengingat, atau ketidakikhlas-an yang menganggu. Semoga yang kakak lakukan tidak membuat Ibu resah di sana.

Bu, nanti kakak cerita lagi lebih banyak ya. Banyak hal yang mau kakak sampaikan. Sekarang mau siap-siap dulu menjelang maghrib dan mengirimkan doa untuk Ibu. Kakak gak mau kalah, karena kemarin sore adik-adik sudah menaburkan bunga di pusara Ibu. Cantik.

Rabbighfir lī, wa li wālidayya, warham humā kamā rabbayānī shaghīrā.
"Tuhanku, ampunilah dosaku dan (dosa) kedua orang tuaku. Sayangilah keduanya sebagaimana keduanya menyayangiku di waktu aku kecil."


BSD, Menjelang malam Jum’at

Tepat 20 hari Ibu tertidur dalam pelukan Tuhan.










 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS