November Rain

Wednesday, November 12, 2014

'Cause nothin' lasts forever
And we both know hearts can change
And it's hard to hold a candle
In the cold November rain

We've been through this such a long long time
Just tryin' to kill the pain

But lovers always come and lovers always go
An no one's really sure who's lettin' go today
Walking away


Lantunan lirik lagu November Rain menggema di telinga perempuan itu. Di sore hari yang tidak begitu kelabu seperti sebelumnya. Namun tampak sekumpulan awan hitam yang sepertinya ingin segera menghampiri langit, angin berhembus dan tanpa ia sadari menarik lebih rapat jaket yang sedang di kenakan.

Jauh sebelum itu....

Melangkah sejenak jauh ke beberapa waktu lalu saat amarah sang lelaki memuncak karena kesalahan yang pernah perempuan itu perbuat. Rasa sakit ini tidak bisa di negoisasi, begitu kata lelaki itu. Hancur rasanya mendengar orang yang perempuan itu sayangi begitu kecewa karena sebuah kesalahpahaman. Tidak peduli pukul berapa, bagaimana langit sudah terlalu malam dan bulan menampakkan dirinya tanda sudah waktunya untuk melelapkan diri, perempuan itu berlari menuju ke arah sang lelaki. Mencoba untuk menemui lelakinya dan memeluknya tanpa jeda, perempuan itu rasakan lagi hal yang sama meski dengan keadaan yang berbeda, bagaimana menggapai seseorang begitu sangat sulit untuk ia lakukan.

Tidak peduli harus menunggu berapa lama, perempuan itu menunggu kedatangan sang lelaki, sendirian, di tempat yang tak pernah ia datangi sebelumnya. Butuh waktu tidak sebentar untuk ia meyakinkan sang lelaki. bahwa semuanya hanyalah kesalah pahaman, bahwa semuanya masih pantas untuk di perjuangkan. Mencoba meraba luka sang lelaki untuk kesekian kalinya, ingin sesegeranya menyembuhkan hingga tiada berbekas. Entah saat itu sang lelaki mempertimbangkan dengan melihat bagaimana perempuan itu berusaha mempertahankan, atau ada alasan lain. Mereka kembali mencoba memperbaiki keadaan bersama. Pelan-pelan.

Hingga akhirnya suatu hari, rasa tak tenang yang beberapa hari belakangan menganggu, membuat perempuan itu mendapati kenyataan. Kesalahan yang dulu pernah ia buat, yang pernah membuatnya begitu tersiksa oleh rasa bersalah, pernah dilakukan jauh sebelum perempuan itu melakukan kesalahannya, oleh seseorang yang amat ia sayangi. Lelakinya. Meski dengan keadaan yang berbeda, rasa kecewanya mungkin hampir sama.

Amarah yang menggunung dan kecewa yang membuncah ? Tak pelak lagi perempuan itu merasakan sakit yang mungkin pernah di rasakan oleh lelakinya. Tapi dengan alasan yang bertambah satu.

Bagaimana bisa kamu menyalahkanku sehebat itu, saat kamu pun pernah melakukan hal yang tidak berbeda menyakitkan sebelumnya ?

Perempuan itu bukan perempuan tersabar yang pernah ada, namun ia masih bisa berusaha menurunkan oktaf suaranya meskipun emosinya yang sedang ia tahan bukanlah sebentar. Hingga akhirnya pertanyaan perempuan itu pada akhirnya, 

"Aku boleh kecewa sama kamu saat ini ?"
Percayalah, saat perempuanmu telah mengucapkan kata itu, sungguh ia telah kecewa jauh lebih besar dari yang kamu bayangkan. Tapi, ia berusaha untuk menahan.

Hingga perempuan itu menyadari bahwa kecewanya mungkin sama sekali tidak berarti bagi sang lelaki, karena mungkin pula baginya rasa kecewa yang perempuan itu rasakan, bukan sesuatu yang patut sang lelaki pikirkan. Kecewanya, bukan saja karena lelaki itu melakukan kesalahannya, tapi juga karena ia merasa menjadi perempuan yang tidak seharusnya di perjuangkan lebih oleh sang lelaki.

Tanpa usaha untuk mencoba meredam rasa sakit, berbekal alasan bahwa semuanya hanyalah masalah kecil bagi sang lelaki, perempuan itu mengucapkan kata terakhir yang mampu ia utarakan. Kata sederhana yang membuatnya sejenak ingin berhenti dan mewakilkan semua rasa yang ia miliki.

"Terimakasih."






Jakarta, November 2014
Cerita iseng pada musim hujan di bulan november





 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS