Behind The Story (7 Days To Remember)

Friday, May 30, 2014

 
BEHIND THE STORY
OF
"7 DAYS OF REMEMBER" AND
"NGEMIL EKSIS KE INGGRIS GRATIS BARENG MISTER POTATO"
 
 
  
 

Pengen berangkat ke Inggris gratis ?

BANGET! Ke Inggrisnya aja ditawarin mau-mau-mau-mau-BANGET, apalagi bisa gratis.

Terus, kenapa harus pilih kamu buat jadi salah satu pemenang ?
Well, karena gue udah usaha pake doa sesuai yang seharusnya dan mungkin gue bakal cerita sedikit ya………
Bermula dari ke eksisan para selebtweet yang mempromosikan #InggrisGratis nya @MisterPotato_id gue pun awalnya juga gak terlalu yakin bakalan menang. Liat aja yang submit. Semriwing banget tulisannya pada bagus-bagus. Mendadak gue nge-down.
Tapi, gue teringat seseorang yang pernah nanya ke gue langsung,
Mimpi kamu mau ke Inggris ? Terus, udah usaha apa aja buat sampe ke sana ?”  - Mrs. Avanti
Saat itu gue Cuma bisa cengar-cengir gak jelas dan belum menentukan harus pake jalan apa kesana. Beasiswa ? Uang pribadi ? Rada-rada berat sih dua-duanya. *nyengir lagi*
Hingga beberapa hari lalu gue membaca tentang #InggrisGratis dan gue ngerasa mendapat hidayah *tear* THIS IS YOUR CHANCE! *suara beratberat basah ala pembawa acara berita*
Mulailah gue searching semua hal yang dibutuhkan, buat bisa dilirik para juri dan di jadikan pemenang. Mencari informasi tentang England, yang makin giat aja gue lakukan berhubung deadline waktunya tinggal sebentar lagi. Merepotkan adek-adek dalam hal “Dek, kakak titip Veetoooosssss yah. Banyak-banyak. Doa dulu sebelum milih. Kesempatan kakak, ada di tanganmu, dek!” atau “Dek, fotoin kakak dong. Kakak tau kamu pasti bisa!” *nyeret adek yang lagi anteng nonton kartun di hari libur* Bahkan saking antengnya di depan laptop, nyokap sambil terharu gak mau ganggu dan bertanya, “Kak, skripsinya udahan ?” Pertanyaan yang berulangkali gue jawab “Udah, bu.” Tapi nyokap kayaknya masih gak percaya. *Sigh*
Dengn ke-gabut-an LUAR BIASA selama gue lagi liburan di Jambi, dan lagi banyaknya di terpa kegagalan dari beberapa hal beberapa waktu ke belakang, gue melampiaskan dengan kembali membuat cerita dan menulis di blog lagi. Setelah sebelumnya sempat gak punya ide buat nulis. Jadi, dimulailah bergadang beberapa malam terakhir, ngebut buat bikin cerita dari kerangka, nama, tempat, alur, blablabla. Dengan kondisi badan dari yang sehat, agak gak enak badan sampai sebentar-sebentar mesti gegulingan karena efek PMS. You know lah ya. Rasa-rasa tangan pengennya ngetik bukan di teken tapi di tonjok tiap tombol keyboardnya.
Akhirnya lahirlah cerita-mepet-tiga-hari-gue “7 DAYS TO REMEMBER” *Jengjeng* gue berharap bisa sedikit banyak menampilkan gambaran, informasi dan keindahan Inggris serta sedikit dari BANYAK alasan "Kenapa gue harus menginjakkan kaki di Inggris ?".  Mulai dari menikmati 7 stadion legendaris di Inggris, yang gue pengen banget loncat-loncat sambil selfie biar bikin orang iri karena melewatkan kesempatan besar kayak gitu *smirk* gak deng, karena emang kemegahan para stadion itu menggiurkan banget buat dipandang langsung. Hingga menikmati sudut kota Inggris dengan keindahan sejarah dan pemandangannya yang gak pernah mati. Mulai dari bergaya ala Kate Middleton di Westminster Abbey, Menikmati senja atau malam hari dari London Eye, menikmati perpindahan waktu di sisi Big Ben atau berimajinasi jadi detektif dadakan di The Sherlock Holmes Museum, sekalian membayangkan bagaimana kehidupan England menginspirasi Shakespeare yang mampu membuat karya se-legendaris Romeo and Juliet, Othello, Macbeth, etc. Masih banyak tempat-tempat menakjubkan lainnya yang kebanyakan buat ditulis tapi gak bakal bosen buat di datengin. Klise sih bilang kalo ke Inggris itu salah satu impian, karena pasti banyak yang pake alasan itu, tapi itu salah satu alasan lain yang gue punya. Jadi, tetep harus dimasukkan! *Gak mau pilih kasih* Oh iya, gue juga pengen puas-puasin norak memanjakan telinga mendengar aksen british warga sana. : ))
Emang harus banget menang ?
Harus atau enggaknya sih ya tergantung pilihan para Juri yang tsakep dan pastinya mempunyai alasan kuat dalam memilih, dan semoga tulisan gue salah satu pilihannya *wink* tapi  gue sih berpikirnya harus, karena gue udah menggalakan usaha (lumayan) keras buat ikutan submit entry seperti peserta lainnya dan doa di tiap jentikkan tombol keyboard. Tinggal tunggu gimana hasil yang bakal di keluarin para juri. *Cross my fingers*
Gak lupa mau bilang, MAKASIH YA MISTEEEEEEEEEEEEERRR POTATO UDAH KASIH IDE NULIS DAN KESEMPATAN. Karena salah satu impian besar gue lainnya ya bikin buku, dan nulis di blog salah satu cara gue buat merealisasikan impian. Mungkin aja, suatu saat gue bakal kepikiran untuk bawa cerpen “7 DAYS TO REMEMBER” punya gue ke dalam konsep yang lebih panjang, novel. Walaupun gue yakin banget, butuh banyak banget polesan buat jadi sebuah buku yang memenuhi keinginan pasar dan pembaca. Dan semoga apa yang gue tulis beneran jadi nyata untuk mengunjungi setiap tempat di Inggris serta mengabadikan setiap momentnya, gak perlu lagi “by Google.com” bakal gue ganti dengan nama dan hasil karya foto gue sendiri. AAAAMIIIIINNNNNN!
Finally,
Gue akhiri salah satu usaha gue buat nginjek kaki di Inggris, melalui #InggrisGratis. Sekarang tinggal tunggu kabar baiknya dari Mister Potato. Dengan nama Allah SWT dan atas kejaran maut batas pengiriman posting. Bismillah. *publish*
 
 
 Jambi, May 2014.
 
 
 
 
 
 
 
 
  

7 Days to Remember (Day 7 - The End)

Thursday, May 29, 2014

Day 7


Rully
Pokoknya gue harus tau kenapa dari kemarin Hanni bertingkah aneh, ini hari terakhir liburan gue bareng dia dan gue mau ngomong semuanya ke dia. Dia mesti tau.
Hanni
Liburan udah mau kelar, dan gue ga mau perasaan campur aduk ini gue bawa balik. Semuanya harus gue lepas disini. Cukup satu tahun ya, yan. Cukup.
“Han, kita ke Wembley Stadium yuk, biar sorenya aja ke London Eye sekalian jalan-jalan malam. Gimana ?” Rully membuyarkan lamunan gue.
“Oke deh, gue juga udah kelar packing sebagian barang. Jadi gue bisa puas-puasin menikmati malam terakhir di sini.” Gue menjawab sambil menatap ke sekeliling. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua barang penting telah siap masuk ke dalam koper.
………………………………………..................................................…….
“Waaaaaaah sekarang kita ada stadion ke-sebelasannya England nih. Wembley Stadium.  Eh foto gue lagi rull, nih nih di sini nih.” Gue mencoba mengambil posisi tepat di depan pintu masuk stadium megah yang menjadi stadion terbesar kedua di Eropa setelah Camp Nou.
“Temen kerja kita di kantor pasti iri berat nih sama foto-foto gue semingguan ini. Biarin deh, yang penting gue bisa senang-senang setelah setahunan berkutat sama proposal dan anggaran dana di kantor, rull.” Gue berkomentar sambil melihat-lihat hasil foto di kamera yang menjadi senjata utama Rully di sini.
“Ya iyalah, setiap pindah tempat ada aja yang lo post di media social. Dasar.” Rully mengomentari kelakuan gue yang gak pernah bisa jauh dari media social.
 
“Ini 2014 rul, masanya globalisasi, informasi lebih cepat di dapat. Kalo emang bisa berbagi kebahagiaan dan rasa melalui gambar dan tulisan, kenapa enggak ?”
“Iya deh. Gue sih ngalah aja. Elo deh yang menang.” Kembali lagu Rully mengalah di debat kesekian kami, dan gue tersenyum penuh kemenangan.
 
“Well, berhubung kita sudah sampe di stadion terakhir di liburan kita kali ini. Gue mau ngasih tau sedikit info. Jadi Wembley Stadium yang dirancang oleh Foster & Partners dan Populous ini dapat menampung 90.000 bangku, secara merupakan stadion terbesar kedua di Eropa setelah Camp Nou. Tuh lihat deh, lengkungan baja yang terkenal di atapnya merupakan lengkungan baja struktur atap dengan bentangan tunggal terpanjang di dunia. Rentang lengkungan baja tersebut sendiri adalah 317 meter…….”
Rully mulai memberikan ceramah singkatnya mengenai stadion kesebelasan Inggris, dan gue kembali mengekor dibelakangnya bagaikan peserta tour. Here we go.
Rully
Hanni udah gak bad mood kayak kemarin, dia udah bisa kembali mengoceh tentang segala hal. Thank God. Semoga hari ini hari terakhir yang bisa berjalan lancar. Gue membatin dan tersenyum melihat Hanni yang sedang sibuk mengomentari foto-foto yang ada di kamera gue selama hampir semingguan ini. Perjalanan tur di Wembley Stadium tadi mengakhiri 7 stadion legendaries di inggris yang ingin gue kunjungin selama disini.
 
“Rul, kita naik ke London Eye nya kapan ?” Hanni menanyakan destinasi terakhir yang gue janjikan kepadanya.
 
“Sore ini. Yuk kita jalan sekarang. Udahan kan minumnya ?”
“Udah kok, yuk.”
Gue dan Hanni berjalan menyusuri kota dan berhenti di sekitar London Eye. Megahnya merupakan simbol ikonik modernitas Britania Raya sejak dibuka pada Maret tahun 2000, dan dapat mengangkut 800 penumpang dalam satu kali putaran atau setara dengan 11 bus double-decker. Tapi semua itu seakan menyadarkan gue bahwa ada sebuah kejujuran yang harus terungkap di sore ini, di hari ketujuh perjalanan gue dan Hanni.
 
“Yuk Han, kita naik.” Gue pun menarik lembut tangan Hanni untuk menaiki London Eye.
Hanni
Indah ya rull ? Tuh lihat, gue bisa lihat kota Inggris dari sini. Indah banget.” Gue berseru norak. My bad. Tapi entah kenapa sedari tadi gue merasa Rully berprilaku aneh, enggak kayak biasanya. Seakan dia menyembunyikan sesuatu dari gue dan membuatnya gelisah. Mungkin cuma perasaan gue aja.
“Rull, hari ini hari terakhir kita di Inggris. Hari terakhir gue di tutup dengan naik salah satu ikonik Inggris. Saat senja seperti ini lagi. Senja itu selalu indah ya. Terkadang banyak orang tidak menyadari bahwa senja yang ditawarkan Tuhan, bagaikan kegagalan yang menghampiri. Akan selalu ada di tengah-tengah, agar kita yakin bahwa malam akan segera dating. Begitu juga kegagalan, nyatanya ia ada untuk mengingatkan bahwa kita sudah berusaha dan akan segera mencapai impian kita. Bukannya yang berusaha keras yang akan segera berhasil ?”
Keheningan mendera di antara gue dan Rully.
“Kayak sekarang, kalo gue gak gagal sama Tian, mungkin impian gue buat jalan-jalan ke Inggris gak akan pernah terpikir dan terwujud sampai sekarang. Ya kan rull ?” Gue menikmati senja dan bertanya tanpa melihat kepadanya. Seakan bukan ingin dijawab, hanya ingin menyatakan ke diri gue sendiri.
“Han, lo masih mengingat sakit yang di berikan oleh Tian ?” Ada nada kehati-hatian yang dilontarkan oleh Rully ke gue, dan itu malah membuat gue tersenyum.

“Gue cuma manusia biasa yang gak segampang itu untuk amnesia. Gue pasti masih ingat di setiap inci rasa sakitnya. Tapi….” Gue menggantung ucapan, seperti berusaha meyakinkan diri sendiri dengan kenyataan yang sebenarnya.
 
“Tapi apa ?” Rully bertanya perlahan.
“Tapi gue harus yakin bahwa Tian pergi demi kebaikan gue sendiri. Tuhan biarin dia pergi, agar gue bisa memikirkan diri gue sendiri. And here we are, ini salah satu impian gue. Menginjakkan kaki gue di Inggris. Mengganti rasa penat dengan setiap inci keindahan Britania Raya. Gue bersyukur Tuhan selalu punya cara-Nya tersendiri untuk menyembuhkan.” Gue menjawab pertanyaan Rully dengan mantap. Mengambil keputusan besar untuk merelakan memang tidak akan pernah mudah.

“Baguslah kalo emang kayak gitu. Itu berarti gue bisa ngenalin elo ke seseorang yang juga menjadi salah satu mimpi gue untuk bisa di ajak ke Inggris.” Tatapan Rully kini berubah serius menghadap gue.
 
“Oh ya ? Siapa ? Kok lo ga pernah cerita kalau udah memilih buat serius ? Gue kenal gak orangnya ? Atau jangan-jangan lo balikan sama Ririn ?”
 
Rully tertawa mendengar pertanyaan gue. “Gak balikan kok Han. Lo juga kenal kok orangnya. Fotonya juga ada di kamera gue.”
“Mana sini kamera lo. Gue cek lagi sini. Perasaan tadi gak ada deh foto cewek.” Beberapa saat gue bolak-balik memeriksa gambar di kameranya. “Mana sih ? Adanya Cuma foto gue doang dari awal sampe akhir.”

Rully menatap gue dan dengan lembut menggenggam kedua tangan gue yang memegang kamera. Sesaat dia menunjuk foto candid gue yang sedang tertawa lepas. “Dia orangnya Han. Orang yang entah sejak kapan menjadi impian gue untuk diajak ke Inggris, karena gue tau dia suka sejarah, Manchester United dan semua hal tentang inggris. Dan gue bersyukur sekarang impian gue terwujud.”
 
Gue speechless.
 
“Gue tahu lo mungkin kaget, karena hubungan pertemanan kita yang udah cukup lama. Gue juga takut apa yang gue ungkapin di hari ini bakal menghancurkan semuanya. Tapi, setelah melihat keberanian lo buat merelakan rasa buat Tian, gue juga harus berani untuk jujur di depan elo. Di bawah langit Inggris, di ketinggian kira-kira 135 meter, disaksikan langsung oleh senja dari atas London Eye. Gue pengen bilang kalo gue sayang sama elo, Hanni Raviolla. Gak peduli harus jam berapapun terbangun demi mendengar tangisan lo. Rengekan manja lo di saat meminta sesuatu. Mendengarkan semua celoteh lo tentang para pemain ganteng kesukaan lo. Ataupun memesankan iced chocolate di setiap pertemuan kita. Gue bakal tetep sayang sama lo. Entah sejak kapan, tapi hari ini rasa itu tetap ada.” Rully memuntahkan semua alasan dari setiap tingkahnya yang berbeda hari ini.
 
Gak terasa air mata gue mengalir satu persatu.
………………………………………………………………………………………
Rully
Di sore hari terakhir liburan di Inggris. Hanni belajar untuk meninggalkan semua lukanya di Inggris dan ingin kembali dengan kenangan manis tentang Inggris. Sedangkan gue, akhirnya, gue bisa ngomong semua yang gue rasain di depan dia. Walaupun akhirnya gak semanis yang gue harapin.
Seenggaknya, impian utama gue untuk pergi ke inggris terwujud bersama impian gue lainnya untuk mengajak wanita yang gue cintai untuk menikmati keindahannya.
“Rull, buru. Kita udah mesti boarding nih. Ngelamunin apaan sih ?” Hanni sudah berdiri mengomel dan berjalan mendahului menuju ke pintu boarding pesawat pulang ke Indonesia.
Good bye England, see you next time. Terimakasih untuk cerita selama tujuh harinya.

Hanni
“Gue gak tau harus ngejawab apa.”
“Lo gak perlu jawab kok. Gue kan gak nanya. Tapi, terimakasih ya udah dengerin semuanya. Lo bisa menjawab dengan pernyataan, kalau emang lo udah siap.”
 
Gue tersenyum mendengar ucapan bijak Rully yang gue tau, pasti susah untuk dia berkata jujur seperti itu. Hampir sepuluh tahun lebih gue kenal dia, dan baru sekarang gue dengar dia bertutur manis seperti itu. “Kita coba pelan-pelan mulai semuanya dari awal ya ?”
Rully pun tersenyum mendengar jawaban gue, dan gue yakin dia ngerti maksud gue.
 
“Rull…..”kemudian gue terdiam.
“Apa ?” Tatapan dan suaranya lembut banget.
 
“Gue laper.” Jawab gue sambil mengeluarkan senyum meringis.
 
Begitulah akhir cerita gue dan Rully selama 7 hari liburan di Inggris. Hidup gue mendadak berubah lebih baik mendengar pengakuannya sore itu. Meski gue dan dia gak bisa lagi disebut teman, karena kita mencoba untuk lebih dekat lagi walaupun tanpa hubungan yang pasti. Gue dan Rully pulang dengan cerita masing-masing. Semoga ini menjadi awal yang baru buat gue. Siapapun yang berkata bahwa yang pergi akan tergantikan dengan yang lebih baik lagi, gue sependapat dengannya.
Terimakasih untuk setiap pelajaran disetiap inci kehidupannya, England.
 
Wembley Stadium by Google.com
 
London Eye by Google.com

 
THE END
 
Akhirnya selesai ceritanya, tapi gak buat doanya. Semoga cerita-mepet-tiga-hari-nya dilirik sama mister.
Aamiin! :)



Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.

7 Days to Remember (Day 4, Day 5, Day6)


Day 4

Hanni
“Ul, kita jadwalnya hari ini ke Emirates Stadium dan White Hart Line ya ?” Tanya gue malas-malasan.
“Al, Ul, Al, Ul. Nama gue Rully. Bukan Tukul. Panggil yang bener dong Han. Kebiasaan nih !” Rully yang awalnya sibuk dengan kamera Canon Eos di tangannya kini memandang sewot ke gue.
“Iyaaaa Rully Anggaraksa si lelaki blasteran pemikat hati wanita se-Jabodetabek. Hari ini kita jadwalnya ke dua stadium itu ya ?”
“Iya Hanni Raviolla. Kita bakalan ke Emirates Stadium dan White Hart Lane. Nih lihat gue udah cakep banget kan pake jersey nya The gooners ?” Ucap Rully dengan bangganya menunjukkan jersey tim kesayangannya. Arsenal FC.
“Iya, lo cakep kok. Kalo gak sering menunjukkan muka datar tanpa ekspresi dan sok cool lo itu.” Gue menimpali sambil memelet lidah ke arahnya.
Rully
“Here we are……….. Emirates Stadium ! Tempatnya para the gooners. “ Gue tersenyum puas udah bisa menjejakkan kaki di depan stadium megah ini.
“Tunggu! Sebelum lo kasih wejangan ala-ala pemandu tur. Gue tau kalo Stadion kebanggaan Arsenal yang terletak di Ashburton Grove, Holloway, London utara ini sanggup menampung sekitar 60 ribuan tempat duduk, menggantikan stadion lama Arsenal, Highbury yang telah dipakai Arsenal selama kurang lebih 93 tahun, ya kan ?” Hanni menjelaskan hal tentang Emirates Stadium dengan tampang gue-juga-bisa-tahu-kok nya.
“Woooooow, seorang Hanni Raviolla bisa juga tau tentang sejarah persepakbolaan ? Bukan cuma nama para pemain dengan tampang cakep. Hahahaha.”  Gue menggoda Hanni dengan penjelasannya tadi.
“Ya iyalah. Lo kira gue buta-buta amat masalah sepakbola ? Gini-gini gue kan juga suka sejarah dan persepakbolaan di Inggris juga masuk di salah satunya.”
“Nah, karena lo udah tau, kita keliling ke dalam yuk skalian gue jelasin lebih jauh lagi. Jadi, Stadion Emirates pertama kali digunakan pada tahun 2006 di laga persahabatan Arsenal vs Timnas. Sebuah laga yang berlangsung sebagai penghormatan kepada mantan penyerang Arsenal sekaligus pemain timnas Belanda, Dennis Bergkamp, yang pensiun di musim tersebut…………..”
Gue pun mencoba memberitahu Hanni sedikit banyak sejarah yang gue kuasai, karena gue tau, dia suka tentang sejarah, dan kenangan. Karena baginya, sejarahlah yang membuat kita tetap hidup dan menjadi pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi. Berharap juga suatu saat ketika dia mengingat, dia menemukan serpihan tentang keberadaaan gue di hidupnya.
Hanni
“Kalo di sini, pemain yang ganteng siapa rul ?” Tanya Hanni sesaat setelah menjejaki White Hart Lane milik Tottenham Hotspurs FC
“Siapa ya ? Erik Manuel Lamela mungkin.” Rully menjawab pertanyaan gue gak pasti.
“Wait……… Waaaaah iya. Beneran ganteng.” Gue langsung mencari siapa dan bagaimana rupa si Erik Manuel Lamela yang di bilang Rully, dan ternyata dia beneran cakep. Masih muda lagi, duh.
“Ya ampun ini orang. Beneran sampe di google coba. Niat lo kebangetan sih Han.” Rully menggeleng kepalanya saat dia melihat gue men-scrool layar handphone yang berisi informasi tentang pemain ganteng tersebut.
Setelah puas mengelilingi kediamannya Tottenham Hotspurs FC hingga sore, gue dan Rully memutuskan untuk mampir sejenak membeli ke kedai kopi. Seperti biasa, melepas lelah seharian mengelilingi 2 stadium besar seperti Emirates Stadium dan White Hart Line.
“Lo pesen kayak biasa kan Han ? Iced Chocolate tapi esnya sedikit aja, jangan terlalu manis ?” Rully memastikan pesanan gue sebelum memberitahukannya kepada waitress.
Gue hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan. Rully adalah lelaki yang paling sempurna dalam mengingat sesuatu, setidaknya dia lebih baik dari gue. Bahkan untuk hal kecil seperti minuman kesukaan gue beserta takarannya, dia hafal. Siapapun wanita yang kini ataupun nanti mengisi hatinya, pasti wanita yang beruntung. Karena Rully gak akan pernah melupakan sedikitpun hal penting tentang dirinya. Beda banget sama Tian.
Ah, Tian lagi. Kapan gue bisa lepas sih dari bayang-bayang lelaki itu ?

 


Emirates Stadium (Arsenal FC) by Google.com



Whie Hart Lane (Tottenham Hotspurs FC) by Google.com
 


Day 5
Rully
“RUUUULLYY BANGUUUUN! AYOK KITA JALAN KE MANCHESTER !” Hanni membangunkan gue dengan setengah berteriak dan gue masih ngantuk banget, karena semalam gue harus rela menemani sang putri ini berjalan-jalan di King’s Cross Station yang dengan hebohnya dia ingin berfoto di Peron 9 ¾ dengan alasan, kalau bisa saja nanti Harry Potter dan teman-temannya keluar dari dinding bata tersebut. Meski alasannya bisa dibilang terlalu imajinatif dan hampir gak masuk akal, tapi gue nyatanya rela-rela aja buat ngikutin dia kemana aja, meskipun rasanya badan udah kangen banget sama kasur di penginapan.
Akhirnya setelah melewati beberapa jam perjalanan dari kota London, kita berdua sampai di kota Manchester. Tempat pertama yang langsung di kunjungi oleh Hanni adalah Old Trafford. Stadium kebanggaan milik Klub besar Manchester United ini adalah salah satu destination kesepakatan kita berdua. Hanni sebenarnya gak telalu suka sepakbola, tetapi setau gue dia mengidolakan klub setan merah ini. Kalau gak percaya, Tanya siapa aja nama pemain berwajah ganteng yang sempat bermain di klub besar ini. Dia pasti bisa menjawabnya daripada nama pemain klub besar lainnya.
“Nih ya rul, Stadion yang sempat hancur karena serangan Jerman pada tahun 1940 ini mampu menampung kira-kira 70 ribuan penonton. Dengan julukan Theatre of Dreams yang diberikan oleh Sir Bobby Charlton, seorang legenda Manchester United, Old Trafford nyatanya telah banyak mewujudkan mimpi-mimpi para pemain yang berlaga di dalamnya.” Hanni menjelaskan panjang lebar mengenai Old Trafford.
Gue cuma diam mendengarkan sambil sesekali memotret sekeliling. Gue baru mau mengomentari kenapa dia tidak menyebutkan tentang para pemain ganteng kesukaannya, ketika tiba-tiba Hanni menceletukkan sesuatu, “Oh iya, pemain muda yang ganteng di Manchester United namanya Janujaz, rul. Lucu loh dia.”
Tuhkan bener apa pemikiran gue.
Hanni
Setelah tadi gue udah puas banget bisa di foto di sudut Old Trafford, maksud gue setengah memaksa Rully untuk hampir 5 menit sekali memfokuskan lensanya ke gue, sekarang perjalanan gue berlanjut ke Etihad Stadium milik saingan berat satu kotanya si setan merah, yaitu Manchester City FC.
“Stadion City of Manchester di Manchester, Inggris, yang kemudian dikenal dengan nama Etihad Stadium karena sponsornya, merupakan sebuah stadion tempat klub sepakbola Manchester City bermukim sejak 2003. Pertandingan pertama di stadion ini adalah pertandingan persahabatan antara Manchester City melawan Barcelona pada tanggal 10 Agustus 2003. Manchester City memenangi pertandingan tersebut dengan skor 2-1—Nicolas Anelka yang mencetak gol pertama kali di stadion ini.”
Gue membaca sekilas informasi yang terdapat di Stadium ini, mengikuti para peserta lain yang juga dipandu oleh Guide Tour kami.
“Rul, menurut lo Manchester City dan Manchester United pernah tawuran juga gak sih kayak pelajar di negara kita ? Kan mereka musuhan dan tempatnya gak terlalu jauh. Kan seru kalo gitu.” Gue bertanya asal kepada Rully yang sedang mengikuti penjelasan dari Guide Tour.
“Mungkin. Tapi kayaknya gak bakal serusuh itu deh. Pelajar di negara kita suka rusuh ? Itu sih masa lalu elo aja kali, gue sih waktu jadi anak sekolahan kan anak baik-baik Han. Ngapain rusuh? Sama-sama makan nasi, sama-sama pake seragam, sama-sama berstatus warga negara di negara yang sama. Bukannya damai lebih enak ya ?” Rully menjawab diplomatis pertanyaan gue sambil menyunggingkan senyum meremehkannya.
Pengen gue toyor rasanya dia. Untung dia terselamatkan oleh tampang Jawa - Belanda nya yang membuat dia tampak lebih memikat daripada peserta Tour hari ini. Duh, kenapa gue mendadak kepikiran kayak gitu sih ?

 
 


Peron 9 3/4 by Google.com
 
King's Cross Station by Google.com
 
Old Trafford (MUFC) by Google.com
 
Etihad Stadium (MCFC) by Google.com

 

Day 6
Rully
Gue mencoba mensejajarkan langkah Hanni yang sedari tadi selalu ketinggalan di belakang. Kondisinya sepertinya sedang tidak dalam kondisi yang bagus. Entah badannya, entah hatinya. Akhirnya, gue pun memberanikan diri untuk menanyakan.
“Kenapa sih Han ? Lo gak enak badan ? Atau kita batalin aja ke Liverpool nya hari ini ?” Tanya gue cemas.
“Gakpapa. Gue gakpapa kok Rul. Gak bisa gitu dong, kan kita udah ngerencanain buat mampir ke The Beatles Story dan Anfield Stadium kan.” Hanni menyunggingkan senyumnya. Tapi gue tau itu senyum terpaksa.
Beberapa jam kemudian
 “Nah, jadi Stadion tempat The Reds bernaung sejak 1892 ini dibangun pada 1884 dan memiliki kapasitas 45.276 orang. Stadion ini awalnya adalah kandang dari klub Everton F.C. dari tahun 1884 hingga 1892 kemudian Everton pindah ke stadion Goodison Park. Gitu ceritanya han. Han ? Lo dengerin gue gak ?” Gue berhenti menjelaskan tentang Anfield Stadium ketika gue sadar kalo Hanni sedang melamunkan sesuatu.
“Oh. Iya Rul. Denger kok, tadi sampe mana kita ? Lanjutin lagi yuk kelilingnya.” Dengan muka kebingungan Hanni tetap melanjutkan keliling Stadium ini hingga selesai.
Gue hanya bisa menghela napas dan mengikutinya dari belakang.
Lo kenapa sih Han ? Kok mendadak jadi gak semangat gini.
Hanni
“Rul, disinilah replika patung keempat personil The Beatles dan replika panggung The Cavern Club, tempat The Beatles memulai popularitasnya pada 60an berada. Sekitar 300.000 orang datang ke tempat ini setiap tahunnya dan beruntungnya kita jadi salah satu diantara 300.000 orang tersebut.” Gue menjelaskan singkat mengenai The Beatles Story yang terletak di Britannia Vaults, Kings Dock St, Liverpool L3 4AD, Inggris. Salah satu destinasi yang sayang banget kalau sampe terlewatkan, apalagi bagi para pecinta musik.
“Han, gue motret ke sana dulu ya. Lo keliling aja dulu.” Rully menunjuk ke arah lain dari tempat gue berdiri sekarang. Gue hanya menyambut pernyataannya dengan anggukan.
 
Entah kenapa harusnya kesini adalah salah satu destinasi kesukaan gue, tapi mengingat percakapan gue dengan seseorang tadi malam, mendadak mood gue menguap entah kemana.
Tian Baskara : “Han, Apa kabar ? Udah lama ya kita gak komunikasi.
Melihat nama “Tian Baskara” muncul di chat private, gue mendadak merasakan keheningan sesaat. Ingin sekali menghapus segera chat yang masuk dan melenyapkan kemungkinan perbincangan diantara gue dan dia. Tapi gue gak mau dianggap pengecut yang gak bisa move on.
 
Hanni Raviolla : “ Baik yan. Iya, udah hampir setahun.”
Tian Baskara : “Bagus deh kalo baik-baik aja. Katanya kamu lagi liburan di Inggris ya ? Wah, seru dong. Kok ga ngajak-ngajak sih ?"
Rasanya pengen banget gue jawab, “MENURUT NGANAAAA???!! GUE JAUH-JAUH KESINI SALAH SATU ALASANNYA JUGA KARENA GUE GAK MAU KETEMU ELO!”
Hanni Raviolla :”Iya, berdua sama Rully. Bosen sama kerjaan di kantor. Lagian kalo ngajak kamu nanti cewek bule kamu marah lagi. Hehehe. Just kidding, yan."
Klise banget sih jawaban lo, Han. Gue protes ke diri sendiri.
Tian Baskara :  “Hahahaha. Cewek bule maksud kamu si Shyla ? Aku udah enggak sama dia. Beberapa bulan setelah putus sama kamu, aku mutusin dia, Han. Aku nyesel udah salah pilih.
Kemudian hening. Pembicaraan klise selanjutnya. Penyesalan yang dating terlambat karena telah salah memilih. Gue rasa percakapan ini bakalan bikin rusak pertahanan gue selama ini, lebih baik gue istirahat buat besok ke The Beatles Story dan Anfield Stadium bareng Rully.

Hanni Raviolla : Oh gitu. Udah dulu ya yan, aku mau istirahat, besok mesti jalan lagi. Night.
*Turn Off*
“Han ? Han ? Woy ?” Rully mengibas-ngibaskan tangannya di depan muka gue.
“Eh iya Rul. Udah kelar kelilingnya ? Gue juga udah nih tadi. Banyak banget peninggalan dan material yang berhubungan sama The Beatles di sini. Surganya maniak The Beatles nih kayaknya disini. Gak rugi banget datang kesini ya kita.” Gue mencoba mencairkan suasana yang sempat hening dan melangkahkan kaki menuju kea rah pintu keluar.
Gue butuh istirahat secepatnya di penginapan. Hati gue juga butuh.
Rully
Elo kenapa lagi sih Han ? Gue merasa jadi seseorang yang gak terlihat di depan lo. Gak mau cerita, bertindak seakan semuanya baik-baik aja. Sok kuat banget. Gue Cuma bisa menghela napas dan membatin.
 

Anfield Stadium (Liverpool FC) by Google.com

The Beatles Story by Google.com

 

To Be Continued.
 

Fav! *komatkamit doa biar dipilih ikutan ke #InggrisGratis
 
 
 

Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.

 
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS