Untuk segala perihmu, Maaf.

Thursday, September 25, 2014

Dear, Kamu.

Pernahkah kamu merasa bahwa kaki sudah terlalu lelah untuk menajajaki hari dan memilih sesuatu?

Pernahkah kamu merasa bahwa tangan sudah terlalu letih untuk menghapus peluh dalam pencarian?

Pernahkah kamu merasa bahwa hatimu sudah terlalu lemah untuk kembali mengembalikan rasa menjadi utuh ?

Aku pernah, dan kala itu, hati telah memilih untuk berdiam. Meski kaki masih ingin beranjak dan tangan ingin bergerak. Kala itu, hati telah memilih untuk tinggal. Meski kaki masih ingin berlari menyusuri dan tangan ingin merajah. Kala itu, kala aku melihatmu.

Banyak hal yang datang silih berganti, serasa menjanjikan masa depan pun berusaha menggoyahkannya. Ketika akhirnya yang aku lihat adalah tetap kamu, dan hanya kamu. Aku merasa segalanya menjadi baik-baik saja. Tidak peduli berapa banyak harus air mata menjelajah pipi, dan tangan menutup mata untuk sesekali membutakan pandangan. Selama ada tangan yang mendekap dan membuatku harus menghentikan tangis, tanganmu. Karena aku sadar, apapun yang terlalu hebat di akhir tidak akan pernah mudah untuk di lakukan pada awal dan prosesnya.

Entah sudah berapa kali aku merengek manja, meminta sesuatu bahkan hanya bertubi-tubi pelukan darimu sebelum akhirnya kita berpisah, dan kamu kembali ke rumah. Sungguh, aku sedikit merasa kesal untuk memiliki pertemuan denganmu, karena akan selalu ada rindu yang menggebu dengan lebih hebatnya, ketika perpisahan terjadi, meski hanya untuk beberapa saat. Entah sudah berapa kali aku menyebutmu terlalu egois untuk lebih mementingkan sesuatu daripada keberadaanku. Merasa bahwa apapun tentangku harusnya menjadi utamamu. Tapi entah sudah berapa kali pula, kamu merendahkan ego dan mengikuti mauku. Mencoba menggenggam kala aku mencoba melepaskan serta membuatmu menjauh, dan membuatku menjadi yang utama ketika seringkali luput aku sadari maksudnya. Entah sudah berapa kali juga, akhirnya kamu membuatku harus menancapkan rasa tak mampu kehilangan atasmu dengan lebih hebat, tanpa perlu kamu pinta.

Tak perlu harus benturkan kepala untuk kehilangan akal sehat, bagiku, cukup mendadak kamu mencoba untuk membalikkan harapan saja sudah mampu membuatku tak tentu arah. Seakan, esok sudah menjadi pudar di pandangan. Ketika hari aku membuat kesalahan yang menorehkan rasa luka, membuatmu menelan rasa perih. Tanpa sadar aku tak henti memohon agar Tuhan menghilangkan rasa perih tak bertuan itu, memberikan aku kemampuan untuk membalutnya dengan rapi meski butuh waktu yang entah harus berapa lama. Pun, ingin aku berdiam di depan pandangmu, untuk akhirnya kamu mau kembali menjatuhkan pandangan untukku kembali.

Aku tidak mengerti secara pasti bagaimana luka itu mampu membuat jantungmu berdegup lebih kencang karena emosi, tidak mengenal secara benar bagaimana luka itu mampu membuat harimu menjadi tidak terasa benar. Satu hal yang aku tahu pasti, aku mencintaimu dengan akhirnya merasakan bahwa rasa sakit itu nyata adanya.


Di dalam untaian tulisan yang mungkin saja hanya akan kamu baca sekilas, ataupun ketika kamu terlalu lelah untuk mengeja, karena kegiatan tanpa henti terlalu menyita waktu. Aku meminta maaf untuk setiap tetes air mata yang entah kenapa tak mampu aku halangi untuk mengalir. Aku meminta maaf untuk melihatmu dengan tatapan yang entah seperti apa aku tak bisa menjelaskan. Karena tidak peduli harus berlari sejauh mana lagi, untuk akhirnya bisa menggenggammu dengan nyata. Tidak peduli sudah berapa kali aku menekan rasa takut akan sekeliling, untuk akhirnya bisa mendengar suaramu yang melegakan. Tidak peduli kemarin atau nanti akan datang seseorang yang lebih hebat kedalam kehidupanku, aku hanya ingin mencoba untuk berhenti di kamu.

Untuk segala kata dan rasa yang terlalu perih untuk di jabarkan,
aku melepaskan segala hal tentang keegoisan,
aku meminta maaf, maaf, maaf.

Terimakasih untuk pernah dan masih membuatku merasa bahwa masa depan terasa begitu nyata,
Terimakasih untuk membuatku ingin terus bertahan,
Terimakasih untuk tetap tinggal,

Kamu.





Dari seseorang yang mencoba untuk tetap ada pada segala tentangmu,

aku.







Dear, my future husband

Friday, September 05, 2014




Dear, my future husband.


Siapapun kamu di masa depan, istrimu yang masih berusia 22 tahun ini ingin mengucapkan rasa terima kasihnya, karena sudah mempercayakan masa depanmu bersamanya. Meski hanya melalui sebuah post singkat, tapi semua yang tertulis disini adalah ketulusannya.

Hai, bagaimanakah rupamu sang pengelana yang menetap ? Maaf, aku masih bertanya-tanya, kini.
Tak peduli bagaimana binar matamu berbicara, seberapa banyak helaan nafasmu per waktu, dan berapa banyak langkah hari yang telah kita lalui dalam perkenalan, satu hal yang kuketahui pasti, dirimu yan menetap dan semoga tidak pernah memilih untuk pergi, adalah seseorang yang di genggamnya aku hentikan pencarian dan melabuhkan segala harapan.

Ketika nanti kita sudah menyatukan dua misi, dua keluarga dan dua pendapat yang berbeda, semoga apapun alasan yang harusnya membuat kita berpisah, mampu mengeratkan kembali apa yang hendak terlepas. Menjadi seseorang yang berdiri satu shaff di belakangmu, mencium tanganmu kemanapun kita akan melepaskan pelukan, meminta izinmu atas segala yang akan aku lakukan, dan menjadi satu-satunya hal halal bagimu untuk menerima semua rasa bahagia dan berbagi duka.

Bagaimanapun rupamu, sifatmu dan impianmu, mungkin saja semuanya adalah jawaban dari setiap harapanku saat menengadahkan tangan, dan berbicara dengan Tuhan untuk setiap pertanyaan, siapakah yang nantinya menjadi teman seumur hidup ?

Hari demi hari akan kita lewati dengan menanjakkan kaki lebih kuat, dan melewati berbagai masalah dengan segala hal yang kita berdua miliki. Melewati segala musim dengan segala kemungkinan terbaik maupun terburuk. Melengkapi hari dengan pelukan sebagai pembuka dan penutupnya. Namun, maaf bila nantinya akan bertambah orang yang sangat aku cintai, tempat aku menggantungkan harapanku selanjutnya, perpaduan rupamu dan rupaku, akan ku panggil mereka dengan bangga, my future children.

Teruntuk kamu, pendamping, teman dan calon dari anak-anakku kelak, apapun nanti amarah yang terbakar dan membuatku melontarkan hal yang menyakitkan, atapun tingkah laku yang mampu membuat hatimu sakit, mohon maafkan aku, dan ingatlah bahwa tidak ada siapapun di dunia ini yang mampu mendeskripsikan, sebagaimana besar dan tulusnya rasa sayang yang aku miliki untukmu.

Maaf untuk segala kata yang terkesan melankolis, aku hanya tidak mampu menggambarkan bagaimana rasa bahagia yang aku miliki di hari penyatuan kita nanti.

Tak peduli bagaimana jauh jarak diriku nanti dari orang-orang yang aku sayangi,
Tak peduli bagaimana rasa rinduku yang begitu hebat atas kenyamanan rumah dan kenangan di masa kecil,
Tak peduli bagaimana hal terpenting milikku yang tersisa adalah dirimu, 
Because when I'm with you, I'm home.






With love,

Your future wife





 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS