Dear, myself on 5 years later

Friday, August 29, 2014




Dear, myself on 5 years later

You're young, selfish, and unpredictable. Until one day, di umur 22 tahun tiba-tiba terpikir, 5 Tahun lagi mau jadi apa ya ?

Seringkali kita terlalu terpaku untuk menjalani hari demi hari, dan terlupa untuk merencanakan masa depan, yang pastinya akan bermula dari hari ini. Begitu juga dirimu ini, terlalu sibuk meski hanya untuk berimajinasi. Hampir saja lupa bagaimana rasanya membahagiakan diri dengan menyusun rencana masa depan.

Hari ini, entah kenapa ingin sekali menuliskan sesuatu tentang rencana masa depan. Harapan, pastinya. Dimulai dari angan untuk 5 tahun yang akan datang. Karena, 5 tahun bukan waktu yang terlalu lama untuk dijalani dan merancanakan sesuatu dengan matang. 5 tahun yang akan datang, ada banyak hal yang ingin di raih, di explore, di temukan, dan masih banyak lagi. Pastinya, 5 tahun lagi, entah kenapa dirimu ini menuliskan ada 5 hal pasti yang ingin di wujudkan. 
  1. Tabungan masa depan
  2. Rumah
  3. Kendaraan tambahan hasil sendiri
  4. Memiliki seorang pendamping untuk seumur hidup dan membangun keluarga kecil
  5. Menjadi seorang ibu.
Bagi beberapa orang memang apa yang aku tuliskan untuk pencapaian di 5 tahun yang akan datang merupakan hal yang terkesan biasa. Tapi, tidak untuk aku yang masih seringkali susah dan bandel untuk bertanggung jawab dengan masa depan. Ada banyak alasan kenapa hal seperti ini bahkan tertulis dengan lugas di halaman ini, mungkin karena ini seperti rekam jejak dan pengingat untuk segala ke-alfa-an yang mungkin saja akan aku lakukan di masa depan. Meskipun kita tau bahwa Takdir, Jodoh, Rezeki dan Kematian adalah kuasa-Nya, kita seringkali lupa untuk menyatukan ramuan doa, dengan kerasnya usaha yang nanti menentukan hasil akhir. Man Jadda WaJada, bukankah begitu ?

Untuk segala hal urusan duniawi, kebutuhan tersier, sekunder dan primer dan entah kebutuhan umum lainnya, tentu hal yang mesti aku tekankan untuk dipersiapkan segala simpanannya--tabungan maksudnya--dalam menghadapi kebutuhan di masa depan. Karena kita tidak akan tahu, apa yang akan kita hadapi. Tuhan pun bersabda bahwa Dia tidak akan mengubah nasib seorang umat, tanpa usaha mereka sendiri, bukan ?

Ada yang bilang, "Ketika kamu bisa membayangkan masa depan bersamanya, dia pantas untuk di perjuangkan." kalimat sederhana yang membuatku tersenyum dan meninggalkan rasa hangat. Untuk hal ini, aku kira berlaku untuk masa depan yang nanti akan aku jajaki hari demi harinya. Karena, aku tidak akan bersifat munafik untuk mengaku bahwa salah satu alasanku untuk memilih seorang pasangan hidup, bukan saja nantinya ia bisa meng-imam-i keluarga kecilnya dekat tidak hanya kepada Tuhan, tapi juga keluarga dan orang lain. Tapi juga ia yang mampu bertanggung jawab untuk memberikan masa depan yang nyata, nyaman dan aman untuk calon keluarganya kelak. Sebagai seorang perempuan --meski masih 22 tahun-- pikiran untuk melangkah jauh dalam menjalan sebuah hubungan tentu saja ada, perasaan dan doa untuk menjadikan kali ini sebagai hubungan yang terakhir dan semoga untuk selamanya, terpartri dalam ingatan. Entah kenapa, untuk kai ini, pemikiran untuk melangkah ke masa depan, tampak dengan lebih nyata. Ucap syukur kepada Tuhan seringkali aku lontarkan selepas ku bersujud kepada-Nya.

Segala keinginan pribadi atas nama naluri seseorang yang belum menikah, melihat segala sesuatu yang menarik dan ingin memiliki segalanya tanpa terpikir apakah benar-benar membutuhkan atau tidak. Konsep ini hanya aku, atau orang lain juga begitu ? :))

Tetapi beberapa bulan belakangan, entah kenapa, pemikiran sudah jauh untuk membandingkan dan memilah mana yang ingin dimiliki, digunakan atau hanya keinginan sesaat. Ah, terdengar sudah agak tua, apalagi pemikiranku di 5 tahun yang akan datang. Mulai belajar untuk memasuki wilayah dapur--sejujurnya dulu jarang sekali tersentuh--, sudah mencoba beberapa resep makanan yang simple dan menghidangkannya ke keluarga terdekat.

Sekarang segala hal yang diinginkan sedang dalam proses dalam usaha dan doa untuk di wujudkan dalam nyata. Semoga Tuhan selalu menunjukkan mana yang terbaik yang harusnya aku jalani. Dan teruntuk diriku di umur 5 tahun yang akan datang, which means 27 years old, catatan singkat ini semoga bisa mengingatkan bagaimana ketidaktahuanmu tentang masa depan namun bermimpi dan berusaha menggariskan yang diinginkan dalam 5 tahun yang akan datang. I'm gonna meet you 5 years later, Apakah semuanya berjalan sesuai rencana ? I hope so.




Tertanda, dirimu di umur 22 tahun.
Jakarta, Agustus 2014
Antara usaha, doa dan rencana masa depan.





Ps:
Kalau kamu, ingin menjadi seperti apakah dalam 5 tahun yang akan datang ?
Let's write it down and see how's your life change.
Selamat bermimpi dan merencakan masa depan!



Sang perempuan dan harapan barunya.

Sunday, August 24, 2014

Aku ingin nantinya mencintaimu dengan bukan lagi sepenuh hati, tapi sepenuh kehidupan yang aku miliki.

Tapi untuk saat ini, biarkan aku mencoba untuk berbicara hanya dengan diriku sendiri,
berusaha meyakinkan bahwa apa yang akan aku pertaruhkan untukmu, bukanlah hanya ego diri yang berbicara.

Malam itu, bintang seakan enggan menggeliat di langit. Menyibukan dirinya dengan lain hal, hingga perempuan itu tak mampu melihat dimana mereka berada. Tak ada hembusan angin pun rasa dingin, yang biasanya mampu membuatnya merekatkan tangan lebih kencang lagi.

Perempuan itu berjalan dengan gontai, pikirannya---bukan lagi badannya--- mencoba berdamai dengan emosinya yang menderu dan sesekali membuatnya harus merelakan tetes demi tetes air mata turun menjelajahi pipinya. Hingga akhirnya ia sambut dengan usapan lemah tangannya. Pundaknya naik turun, berdampingan dengan isak tangis yang berusaha ia tahan sedemikian rupa. Perempuan itu malu dengan semesta, ia ingin terus terlihat bahagia, menghargai semua kerja keras semesta yang membuatnya bisa berdiri dengan pastinya di antara semua nikmat bahagia yang ia rasakan kini. Berusaha untuk mendiamkan diri dan menghentikan tangis, sepertinya menjadi pilihan terbaiknya.

Terlalu bahagia, terkadang bisa membuat siapapun lupa. Bahwa bahagia juga meletakkan rasa lelah di akhir permainannya. Perempuan itu terlalu sering berlari, berputar dan tertawa bermainkan rasa bahagia yang membuncah dengan kehidupannya. Ia lupa untuk mengistirahatkan sejenak semua sendi tubuh dan hatinya, bukan, ia bukan sedang merasakan sakit yang menghempas, ia hanya merasakan kelelahan mulai merambat di hari-harinya.

Memiliki sesuatu yang baru dan mengamatinya hari demi hari, merespon apa yang dilakukan, serta meletakkan harapan untuk selalu berdampingan. Perempuan itu mencintai dengan membicarakan segala hal tentang hidupnya, berceloteh bahkan dalam diamnya dengan menggenggam hingga tanpa lepas, mengisyaratkan bahwa ia menaruh separuh kepercayaannya.

Hari demi hari, perempuan itu akhirnya mulai menguapkan rasa kelelahan dari dalam dirinya, setitik demi titik mulai menunjukkan keringatnya. Tak pelak lagi, rasa ingin mencoba hal yang baru lagi datang menghampiri. Hal baru seringkali berkilauan, hingga perempuan itu mendekat dan memandangnya dengan berbinar. Tapi, ia sadar untuk segera pulang dan memanjakan segala hal yang telah ia miliki. Perempuan itu tidak ingin sesuatu yang baru atau mungkin hal yang telah lama di tinggalkan untuk merusak apa yang kini sedang ia miliki untuk di jaga.

Rasa lelahnya seringkali diglitik dengan usapan menarik dari segala hal yang ia miliki, mengajaknya seakan untuk berjaga dan terus melindunginya, menghalaunya dari orang lain atau hal baru yang bisa saja merusaknya. Perempuan itu berusaha mengupayakan segala hal yang ia miliki untuk menjaga, hingga terkadang ia lupa dengan dirinya sendiri.

Hingga akhirnya, 

Perempuan itu lupa bahwa ia juga butuh di lindungi dan di genggam erat, merasakan bahwa ada sesuatu yang akan kehilangan ketika ia melangkah pergi. Atau mungkin hanya ingin merasa "dicari" ? Sebagaimana ia berusaha menjadikan segala hal yang ia miliki adalah yang utama. Ketika menomorsekiankan segala yang ia inginkan, untuk segala hal yang miliki.

Perempuan itu menenggelamkan kepalanya dibalik selimut hangatnya kala menghentikan sedunya, mencoba mencari ketenangan diselipan rasa terlindungi walau hanya di dekap lembutnya kapas. Hanya rasa "dibutuhkan" yang teramat besar, yang kini bisa membawanya kembali pulang dan terduduk menjalankan apa yang harusnya ia jalani.

Tapi untuk kali ini, ia meminta semesta sedikit memberinya ruang diantara segala hal kebahagiaan yang ia miliki. Ruang untuk mengambil nafas dan merasakan setiap inci dari dirinya, dan mengegoiskan pikiran hanya untuk memikirkan dirinya sendiri. Mencoba melihat, apakah segala hal yang ia jaga, mampu bertahan meski tanpanya. Ia berjanji untuk selalu ada dan menjaga, kapanpun dan dimanapun, tapi perempuan itu pun tahu diri untuk berubah memutar balikkan arah genggamannya, ketika tahu bahwa segala hal yang ia miliki sudah tidak lagi membutuhkannya. Bukankah sudah hukum alam, bahwa setiap hal akan melakukan perubahan seiring berjalannya waktu ?


Berharap diri dan segala hal miliknya berubah menjadi lebih baik.











Jakarta. Agustus 2014
Sedang bosan dan ingin mengisahkan sesuatu.





Teruntuk siapapun yang (harusnya) belajar merelakan

Monday, August 18, 2014

Apa kabar, hati ?

Kilasan kenangan yang lalu seakan memberi salam untuk yang telah terpendam, atau yang seharusnya kini sudah tak perlu lagi meluap ke permukaan.

Kamu, yang hingga kini masih mengharapkan sesuatu untuk kembali dan merajai hari dengan rindu yang baru. Ku haturkan pesan, semoga hatimu baik-baik saja. Aku tidak tahu pasti sudah seletih apa hatimu kini, tapi aku pernah tau bagaimana mencoba untuk menghadapinya. Mencoba menghadapi kenyataan dengan setengah hati yang retak, tidak berdarah pun tampak, tapi rasa sakitnya mendampingi hari, selalu.

Kamu, dengan penuh kebimbangan dan jatuh bangun untuk memperbaiki pondasi hidupmu sendiri, kini mungkin sedang kembali terhempas kala mengetahui, ada yang membuat dia yang kamu sayangi bisa tersenyum bahagia. Memeluk dan menjaga hati, yang mana bukan kamu lagi tujuannya. Lalu apa yang akan kamu lakukan kini ? Kembali jatuhkah, mencoba pura-pura tersenyum walau getir atau menyalahkan kebahagiaan lain yang sedang bersemi dengan syahdunya ?

Mungkin kini kamu mencoba mencari pembenaran atas semua sikap egoismu untuk mendekati dan memiliki yang bukan lagi milikmu, mencari pembenaran bahwa harusnya masih kamu dan selalu kamu yang menyumbangkan alasan di tiap senyumnya. Mungkin juga kini kamu mencari pembenaran untuk setiap kata yang kamu rasa pantas untuk dilontarkan, alasan untuk rasa sakit hatimu. Meskipun kamu menyadari, terselip kesalahan di setiap sudut pembenaran yang kamu lakukan.

Tapi, bukankah yang menyakiti hatimu adalah harapanmu sendiri ?

Harapan bahwa semuanya akan kembali sama seperti dulu, ketika semua cerita masih tentangmu dan dia. Harapan yang sesungguhnya kamu pun tau, bahwa itu semu. Tak jelas asalnya, pun entah mampu terjadi lagi atau tidak, meski doa tak luput kamu lafalkan di setiap mengingat tentangnya. Akhirnya, kamu hanya mendulang rasa sakit kembali.

Tidak ada yang bisa meyakinkanmu bahwa semuanya sudah kembali baik-baik saja, pasti rasa sakit itu masih seringkali berdenyut hebat, atau sesekali malah melumpuhkan persendian kesadaranmu. Tidak pula ada yang bisa menjamin bahwa ini semua telah berakhir, karena Tuhan tak pernah bersuara secara langsung untuk mengatakan persetujuannya tentangmu dan dia, yang kamu cintai.

Aku yang melihatmu dari jauh, mencoba mengirimkan rasa maaf bahwa harus kamu terima kenyataan, yang tentunya sama sekali bukan keinginanmu. Maafkan aku yang telah lancang mengingatkanmu, bahwa kini yang kamu pikirkan masih menjadi salah satu prioritas hidupmu, bukan lagi milikmu. Tapi, sepatutnya kamu menyadari, bahwa apapun yang sedang kamu hadapi hari ini, berharap saja ini hanya sekilas lalu pembelajaran untuk harimu yang sudah pasti lebih baik lagi.

Tak usah terlalu cepat berlari, aku tau hatimu masih belum pulih benar. Tak usah pula terlalu lama mencoba menutup mata untuk melihat kenyataan, kamu telah terlalu lama membohongi hati. Pelan-pelan saja, meski mungkin membutuhkan waktu yang tak sedikit. Karena bila rasa sakit dan ketidaksiapan itu menjadi alasanmu untuk berhenti, entah kapan kamu akan merasa siap. Tidak akan pernah.

Entah nantinya kamu akan membaca dan mencoba berpikir, tetaplah untuk tak berhenti melaju.
Untuk merelakan yang seharusnya kamu relakan.
Bukan saja ini hanya untuknya, tapi juga untuk ketenangan hidupmu.


Karena kebahagiaan lain yang menjadi milikmu,
Kini menunggu untuk ditemukan.











Jakarta, Agustus 2014
Cerah namun sesekali berawan.




 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS