Teruntuk siapapun yang (harusnya) belajar merelakan

Monday, August 18, 2014

Apa kabar, hati ?

Kilasan kenangan yang lalu seakan memberi salam untuk yang telah terpendam, atau yang seharusnya kini sudah tak perlu lagi meluap ke permukaan.

Kamu, yang hingga kini masih mengharapkan sesuatu untuk kembali dan merajai hari dengan rindu yang baru. Ku haturkan pesan, semoga hatimu baik-baik saja. Aku tidak tahu pasti sudah seletih apa hatimu kini, tapi aku pernah tau bagaimana mencoba untuk menghadapinya. Mencoba menghadapi kenyataan dengan setengah hati yang retak, tidak berdarah pun tampak, tapi rasa sakitnya mendampingi hari, selalu.

Kamu, dengan penuh kebimbangan dan jatuh bangun untuk memperbaiki pondasi hidupmu sendiri, kini mungkin sedang kembali terhempas kala mengetahui, ada yang membuat dia yang kamu sayangi bisa tersenyum bahagia. Memeluk dan menjaga hati, yang mana bukan kamu lagi tujuannya. Lalu apa yang akan kamu lakukan kini ? Kembali jatuhkah, mencoba pura-pura tersenyum walau getir atau menyalahkan kebahagiaan lain yang sedang bersemi dengan syahdunya ?

Mungkin kini kamu mencoba mencari pembenaran atas semua sikap egoismu untuk mendekati dan memiliki yang bukan lagi milikmu, mencari pembenaran bahwa harusnya masih kamu dan selalu kamu yang menyumbangkan alasan di tiap senyumnya. Mungkin juga kini kamu mencari pembenaran untuk setiap kata yang kamu rasa pantas untuk dilontarkan, alasan untuk rasa sakit hatimu. Meskipun kamu menyadari, terselip kesalahan di setiap sudut pembenaran yang kamu lakukan.

Tapi, bukankah yang menyakiti hatimu adalah harapanmu sendiri ?

Harapan bahwa semuanya akan kembali sama seperti dulu, ketika semua cerita masih tentangmu dan dia. Harapan yang sesungguhnya kamu pun tau, bahwa itu semu. Tak jelas asalnya, pun entah mampu terjadi lagi atau tidak, meski doa tak luput kamu lafalkan di setiap mengingat tentangnya. Akhirnya, kamu hanya mendulang rasa sakit kembali.

Tidak ada yang bisa meyakinkanmu bahwa semuanya sudah kembali baik-baik saja, pasti rasa sakit itu masih seringkali berdenyut hebat, atau sesekali malah melumpuhkan persendian kesadaranmu. Tidak pula ada yang bisa menjamin bahwa ini semua telah berakhir, karena Tuhan tak pernah bersuara secara langsung untuk mengatakan persetujuannya tentangmu dan dia, yang kamu cintai.

Aku yang melihatmu dari jauh, mencoba mengirimkan rasa maaf bahwa harus kamu terima kenyataan, yang tentunya sama sekali bukan keinginanmu. Maafkan aku yang telah lancang mengingatkanmu, bahwa kini yang kamu pikirkan masih menjadi salah satu prioritas hidupmu, bukan lagi milikmu. Tapi, sepatutnya kamu menyadari, bahwa apapun yang sedang kamu hadapi hari ini, berharap saja ini hanya sekilas lalu pembelajaran untuk harimu yang sudah pasti lebih baik lagi.

Tak usah terlalu cepat berlari, aku tau hatimu masih belum pulih benar. Tak usah pula terlalu lama mencoba menutup mata untuk melihat kenyataan, kamu telah terlalu lama membohongi hati. Pelan-pelan saja, meski mungkin membutuhkan waktu yang tak sedikit. Karena bila rasa sakit dan ketidaksiapan itu menjadi alasanmu untuk berhenti, entah kapan kamu akan merasa siap. Tidak akan pernah.

Entah nantinya kamu akan membaca dan mencoba berpikir, tetaplah untuk tak berhenti melaju.
Untuk merelakan yang seharusnya kamu relakan.
Bukan saja ini hanya untuknya, tapi juga untuk ketenangan hidupmu.


Karena kebahagiaan lain yang menjadi milikmu,
Kini menunggu untuk ditemukan.











Jakarta, Agustus 2014
Cerah namun sesekali berawan.




No comments:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS