Prihatin.

Wednesday, July 20, 2016

Sedikit bercerita akan keriuhan hati.
Maaf bila mungkin akan ada beberapa pihak yang tidak menyetujui, tapi ini hanyalah sekedar cerita, bukan meminta persetujuan ataupun pembenaran.

----------------------------------------------------------------------

Kembali berpijak di kota seberang yang bukan termasuk kota besar, ternyata membuat saya belajar banyak hal. Meskipun telah lama menginjakan kaki disana, ternyata akan lain ceritanya bila memasuki dunia persaingan yang bukan hanya tentang riuh tawa canda ala seragam sekolah.
Sangat berbeda.

Bila dibilang daerah yang terpencil, berarti kamu kurang jauh mainnya. Serius deh. Karena meskipun bukan salah satu kota besar, namun kota ini sangat berpotensi dalam berbagai bidang, terutama bisnis dan budaya. Banyak sekali kota-kota lainnya di Indonesia, yang memiliki potensi besar apabila semakin dikembangkan seperti halnya kota-kota besar lainnya.

Ah, klise. Bila memang jawabannya adalah ketidakmerataan dalam hal anggaran daerah dan sebagainya. Buktinya di kota besar sendiri juga masih berteman dengan kemirisan sosial -- Iya, miris melihat yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin-- di antara masyarakatnya. Tak pelak, bahkan individualitas menjadi keseharian antara satu sama lain. Lupakan tentang tenggang rasa ataupun gotong royong, yang seringkali terpatri dalam ingatan ketika pelajaran PKN tiba. Akan semakin sulit sekali hal tersebut ditemui, bahkan kekentalan darah atas nama keluarga pun bisa terasa amat cair, karena berbagai kepentingan. Mereka yang tidak memiliki ikatan apapun, nyatanya bahkan bisa amat sangat mengasihi satu sama lain.

Di samping segala ketidaknyamanan berada di lingkup yang memiliki mobilitas tinggi di kota besar, ternyata banyak hal yang sebenarnya sangat membuatmu bersyukur, salah satunya ketika persaingan terasa sangat adil sesuai dengan kemampuan, ataupun semakin membuatmu tersadar dan membangun pola pikir bahwa kota tanpa mati tersebut menjadikanmu lebih kuat dari setiap harinya. Bukan karena persaingan yang membuatmu semakin terpojok.

Namun ketika melirik beberapa kota kecil lainnya yang bisa dibilang agak tertinggal dari berbagai sisi, mungkin akan ada kesenjangan sosial yang semakin terasa. Banyak yang tidak berkembang dengan sempurna, bila dibandingkan dengan kota besar di sebelahnya. Tidak hanya sindiran, cacian bahkan makian terkadang terlontar dengan mudahnya di berbagai sudut kota, tanpa melsayakan sesuatu yang mampu mengubah aturan main yang (katanya) sudah berlsaya lebih lama dari usia seriusmu dalam mencari jati diri.

Prihatin, kata yang ingin sekali saya deskripsikan mengenai pola pikir beberapa penampakan manusianya. Dengan segala tumpukan pengalaman, bukannya ingin berbagi kesempatan untuk mengembangkan potensi positif di sekelilingnya, ternyata semakin membuat mereka semakin bangsat  terkungkung dengan pola pikirnya masing-masing. Mengais semakin banyak rezeki dengan pola seadanya, menganggap semua kompetitor adalah serendah-rendahnya manusia yang harusnya di singkirkan. How could you think like that, dude ?

Saya sedikit mengalaminya (tidak lebih banyak mungkin dari kamu yang membaca tulisan ini), bagaimana sebenarnya pola pikir beberapa manusia yang berada di kota kecil ini terkesan lebih sempit dari seharusnya. Kamu bisa melihat banyak gigi rata senyuman manis didepanmu, namun ternyata terkekeh menjatuhkan menyalip dibelakangmu. Ketika akhirnya merasa tersaingi, ada pikiran bahwa segala hal bisa di jatuhkan dengan mencari pendukung dan membangun pembenaran, lalu meluluhlantakkan tanpa ampun mereka yang bisa saja sama sekali tidak berencana mengganggu jalannya. Semua atas nama lembaran kertas berwujud rupiah.

Tersaingi ? Oh. Mungkin mereka merasa hal baru tersebut adalah sesuatu yang mungkin akan menjadi suatu hal yang bisa menjatuhkan di masa depan. I see.

Lalu bagaimana bisa sebuah kompetisi membuatmu menjadi jauh lebih rendah dalam berbagai hal --termasuk mempertanyakan kemanusiaanmu ?
Tanyakan pada kalimat-kalimat yang terucap dan pola pikir beberapa lingkup manusianya mengenai suatu hal baru, yang seharusnya membuat mereka berpikir untuk maju sejauh-jauhnya. Namun nyatanya bahkan dengan seadanya, mereka merasa jumawa paling tau dan bisa. Hahaha lucu sekali, menyenangkan melihat berbagai karakter menganggap orang lain seakan anak kecil yang berusaha menyerap semua cerita fantasi pengantar tidur, padahal sedang menertawakan kepalsuan yang terpampang nyata di ujung mata.

Mungkin berbagai fenomena yang sudah berlangsung lama di berbagai kota kecil ini, tidak jauh berbeda dengan kota besar yang ada. Tapi kota kecil yang pernah jadi kesayangan ini, terasa jauh lebih biadab tidak bisa teraba, karena pola pikir beberapa manusia yang mengaburkan segala jalan baik. Membuatmu menjadi krisis kepercayaan, hingga pada akhirnya yang bisa kamu percaya adalah dirimu sendiri dan sedikit yang tersisa. Tidak ada lagi hitungan sahabat yang mungkin sudah hampir 10 tahun lebih kenal, ataupun yang baru datang dengan segala wejangan (sok) penuh moralitas.

Jadi, kini saya tidak akan mempertanyakan lebih jauh mengapa perkembangan terasa berjalan lebih lambat di kota kecil yang tersebar di berbagai lahan geografis Indonesia. Karena setidaknya, saya sudah mengenal salah satu alasan besarnya. And when I asked my self, "Why it feels so hurt ?", I know, it does matter. I love this city, but I hate the phenomenons and their mindset. Hopefully it could getting better ahead.

Pelajaran besar tahun ini : Dirimu akan jauh semakin terasa manusiawi--meskipun tidak ada pengsayaan dari berbagai media massa ataupun sorakan riuh--, ketika berusaha maju dengan cara tidak menjegal, menjatuhkan dan membunuh jalan mimpi orang lain.






July, 2016
Ketika akhirnya meluapkan pernyataan yang menggulung di pikiran.








 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS