Surat untuk Ibu — Dua

Saturday, June 10, 2023

 Assalamualaikum, Ibukuu.

Malam tadi, kakak tanpa sadar tidak bisa tidur hingga lewat pukul 03.00 Wib. Kakak takut akan ada panggilan mendadak yang membuat kakak hampir tidak memijak bumi. Biasanya, sebelum pukul 01.00 kakak akan terlelap karena terlalu lelah menangis setiap harinya. Maaf ya, bu. Masih belum bisa menahan air mata yang jatuh, entah karena doa selepas sholat atau memang ingin melepaskan rasa sesak.

Bu, beberapa hari terakhir ketika kembali ke rumah. Kakak selalu merasa. tidak tenang disekitar pukul 10.00 WIB. Tidak tau entah karena benar memang hanya perasaan, atau memang alam sadar kakak memainkan perannya. Waktu terasa lebih lambat, dunia terasa lebih menghimpit, udara lebih sulit didapatkan. I’m lost, bu.

Bu, sekitar 1 bulan sebelum telepon itu berdering, kakak sering membayangkan “bagaimana rasanya jika kehilangan dunia?”. Masih terekam jelas bagaimana Kakak mendengar isak tangis tanpa penjelasan panjang, yang membuat jantung terasa berhenti sepersekian detik. Harinya telah datang, dan ternyata jawabannya adalah tidak akan pernah siap.                                                                                                   

Langkah kaki Kakak menuju ke Bandara saat itu seakan sudah lari paling cepat yang bisa kakak lakukan, nyatanya…. Kakak melihat banyak yang berjalan lebih dulu di depan. Badan kakak seakan tidak memijakkan kaki ke bumi.  I felt like it was the scariest and the longest flight I ever had. 

Jika hari-hari berjalan dengan biasa, mungkin kakak akan mengabari Ibu, atau berpikir untuk membuat kejutan dengan kepulangan kakak. Tapi kali itu berbeda. Kakak hanya bisa mengirimkan pesan singkat untuk meminta Ibu menunggu Kakak sebentar, hanya sebentar lagi. Meskipun Kakak tau, tidak akan pernah Ibu baca isi pesannya. Kakak juga terlalu takut untuk meminta panggilan suara ataupun video kepada sesiapapun di rumah sakit, doa kakak bahwa ini hanya kesalahan, ternyata kalah dengan kenyataan pahit dan ketetapan Tuhan.

Tapi kepulangan Kakak kali itu disambut banyak orang, adik-adik dan ayah mengantarkan Kakak menemui Ibu sembari meminta maaf karena merasa telat mengabari dan tidak memberikan waktu Kakak bertemu Ibu di rumah sakit. Kakak tidak bisa membayangkan bagaimana mereka merelakan kepergian Ibu dengan sadarnya. Adik meminta langsung penghentian RJP, karena ia tau, dada Ibu sakit kan beberapa bulan terakhir? Jika itu Kakak, mungkin tidak akan bisa kakak melakukan apa yang ia lakukan. Lagi-lagi, maaf Kakak bahkan masih tidak sesadar itu dalam mengambil keputusan.

“Ibu cantik sekali”. Tapi tidak sempat Kakak ucapkan. Wajah Ibu penuh ketenangan, meski lebih dingin dan kaku dari biasanya Kakak cium. Pun tak sempat Kakak cium tangan Ibu, tanda hormat Kakak buat Ibu, yang terakhir kalinya.

Hari itu berjalan begitu cepat, banyak teman Kakak yang juga turut mengantar Ibu hingga ke liang kubur. Sodara dari jauh juga beberapa ada yang langsung membeli tiket untuk mengantarkan Ibu ke rumah baru. Meski mungkin waktunya memang tidak cukup untuk melihat Ibu ketika belum tertutup tanah dan bunga. Tapi semuanya berdoa untuk Ibu, semuanya sayang, semuanya berusaha dengan sangat keras untuk bisa ikhlas.

Pagi ini, Kakak berusaha untuk menghabiskan sarapan bubur yang saat itu tidak mampu Kakak habiskan.

Sebagaimana dunia berjalan dengan semestinya, berputar dengan sebaik-baiknya, tapi dunia kakak berhenti. Tepat dengan deringan telepon pagi itu.

Besok-besok Kakak cerita lagi ya. Adik-adik sehat, Ayah juga. Tenang ya, bu.


Rabbighfirlii wali waalidayya warham humma kamaa rabbayaanii shaghiiraa


BSD, hari sabtu ke empat yang dilewati tanpa Ibu.



No comments:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS