Ketika aku mulai
merangkum kata demi kata di halaman ini, aku tau kalau suatu saat kamu akan
membacanya. Mungkin hari ini, besok atau nanti.
Bila aku berkata ingin meminta semua janjimu kepadaku yang
hingga kini masih aku ingat jelas, bagaimana ?
Saat kamu berjanji bahwa kamu akan mencoba menemani aku
disaat susah maupun senang.
Saat kamu berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang
sama.
Saat kamu berjanji untuk tidak meninggalkan tanpa alasan.
Karena aku sadar setiap hal memiliki alasan tersendiri untuk
dilakukan, lalu bagaimana denganmu ? akankah alasanmu untuk tidak ada disaat
aku membutuhkanmu itu, harus aku terima ? Akankah alasanmu ketika mengulangi
kesalahan yang sama, harus aku maklumi lagi ? Akankah alasanmu untuk kembali
menghilang tanpa alasan yang pasti, harus aku telan kembali tanpa ragu ?
Anggukan dari kepalaku, bukan hanya pertanda bahwa aku
menyetujui semua kata-katamu. Terkadang itu berarti bahwa aku tidak mampu
menggelengkan kepala dan berkata “Jangan
berkata yang kamu tau, akan sangat bisa kamu ingkari nantinya.”
Senyum dari bibirku, bukan hanya pertanda bahwa aku bahagia
mendengar semua kata-katamu. Terkadang itu berarti bahwa aku sudah tidak bisa
mewakilkan kata terbaik untuk menanggapinya, hanya terpikir “Entah ucapanmu ini harus aku percaya atau
tidak.”
Ketika memang kamu tidak mampu memenangkan keadaan dengan
tidak membuatnya tenang, minimal jangan membuatnya makin tak karuan, dengan membuatku
merasa bahwa adanya kamu akan membantu semuanya menjadi lebih baik. Bila pada
kenyataannya, bahkan kamu tidak pernah berusaha untuk ada, atau benar-benar
ingin ada dengan seluruh hatimu. Di sini, di sisi.
Ragamu yang terbagi
saja hingga kini tidak mampu aku bayangkan, apalagi hatimu ?
Ha ha ha. It’s totally
funny. How could someone who always promise to do the right things and won’t
make us disappointed is the one who intuitively break their promise ?
Could you see the
knavery of your words ?
Jadi, tolong pertimbangkan setiap kalimat yang kamu ucapkan
kepadaku. Semesta saja selalu mendengar
meski itu dengan lirih. Apalagi aku yang berada di hadapanmu. Menjadi
satu-satunya pendengar setia dari kata-katamu, yang entah nantinya bisa kamu
pertanggung jawabkan kebenarannya atau tidak kepadaku.
Aku hanya tidak tau, selama apa hati dan pikiranku sanggup bertahan. Hingga nanti akan ada saatnya aku benar-benar tidak akan mau tau lagi, tentang semua alasan yang kamu berikan. Semoga bukan ketika saat itu datang, kamu mengungkapkan kenyataannya.
Seseorang yang menunggu kejujuran terlontar karena sepenuhnya inginmu,
Aku.
No comments:
Post a Comment