Photo by @Mytaaaa |
Jarak.
Sekecil apapun, kata itu sedari dulu menjadi salah satu hal menakutkan bagiku, ketika ingin menjalankan
sebuah hubungan. Bagaikan orang ketiga yang mengganggu dan menjadi benalu
mengambil semua rasa percaya yang harusnya dipupuk untuk membuat sebuah
hubungan tetap hidup dan berjalan dengan sebagaiman mestinya.
Tapi,
karena satu dan banyak hal. Entah karena aku terlalu terperangkap nostalgia
masa lalu atau perasaan takut yang begitu hebat, mengguncang semua sendi
kepercayaan yang aku punya. Karena pernah porak poranda, karena pernah
terhempas, karena jarak.
Sedari
awal, aku menyadari kelemahan yang aku miliki. Seringkali menyepelekan rasa percaya
yang entah sudah sedari kapan merengek memintaku memeluknya. Tapi aku malah
mengabaikan dan melangkah dengan rasa sakit yang menggelayut mesra. Aku terlalu
buta untuk memilih mana yang harusnya aku percaya, terkadang aku terlalu
memaksakan untuk mensejajarkan langkah tanpa menyadari bahwa sudah saatnya aku
beristirahat sejenak.
Hingga
suatu hari, jarak menjadi salah satu kata yang tidak bisa lagi aku hindari
keberadaannya. Detik demi detik waktu kebersamaan di renggutnya, Jarak menjadi
pemenang.
Haruskah ia
?
Perasaan
cemas, dahaga akan sebuah kepercayaan menari-nari seakan sedang berada di atas
awan. Mencoba menekan dengan segala cara, menahan tangis hingga menjadi diam.
Mencoba menjadikan semuanya tampak baik-baik saja, dan berharap akan begitu untuk
seterusnya hingga akhir. Meski sekali waktu emosiku mendobrak keluar, Mengedepankan cemburu dan berpikir yang tak tentu arah, berkata
tanpa memikirkan keadaan, berharap ia yang berada di balik jarak ini
mengampiri, menggenggamku dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Nyatanya,
pertengkaran seringkali tak bisa lagi terelakkan.
Kini
kepongahan jarak, kembali menjadi pemenang.
Terkadang
terlalu malu mengucap kata rindu terlalu sering, ku pendam saja. Tak ada
gunanya meluapkan ketika tahu bahwa ada bendungan besar yang bernama “kesibukan”
akan menjadi penghalang utama. Tak mau pula aku menjadi seseorang yang
dipandang seperti anak kecil, dengan rengekan manjanya disetiap waktu. Biarkan
rindu ini menggelayut, menghitam, menunggu waktunya untuk melepaskan rasa.
Berkali-kali
jarak menang dan ia menunjukkan kuasanya. Aku menyerah dan belajar untuk
menyapa sekitar, menyapa rasa percaya yang sudah lelah memintaku untuk
mendampingi hidup. Menyesap bahwa nyatanya aku bisa, akan selalu bisa.
Berusaha percaya meski tanpa secara langsung melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, dan melangkah tanpa langkah yang bersisian.
Berusaha percaya meski tanpa secara langsung melihat dengan mata, mendengar dengan telinga, dan melangkah tanpa langkah yang bersisian.
Kini,
terimakasih ku ucapkan untuk mu, lelaki penguat dibalik jarak yang membentang.
Terimakasih telah menjadi alasan paling masuk akal yang bisa aku miliki untuk bertahan.
Semoga tetap membuatku percaya dan mengerti.
Aku tidak pernah setenang ini ketika jarak
menjadi salah satu penghalang dalam sebuah pertemuan.
Tidak pernah senyaman ini meski keberadaan
bukanlah sesuatu yang bisa diharapkan
adanya dalam sekejap.
Terimakasih.
Backsong: LDR by Raisa
No comments:
Post a Comment