Day 7
Rully
Pokoknya gue
harus tau kenapa dari kemarin Hanni bertingkah aneh, ini hari terakhir liburan
gue bareng dia dan gue mau ngomong semuanya ke dia. Dia mesti tau.
Hanni
Liburan udah
mau kelar, dan gue ga mau perasaan campur aduk ini gue bawa balik. Semuanya
harus gue lepas disini. Cukup satu tahun ya, yan. Cukup.
“Han, kita ke Wembley
Stadium yuk, biar sorenya aja ke London
Eye sekalian jalan-jalan malam. Gimana ?” Rully membuyarkan lamunan gue.
“Oke deh, gue juga udah kelar packing sebagian barang.
Jadi gue bisa puas-puasin menikmati malam terakhir di sini.” Gue menjawab
sambil menatap ke sekeliling. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua barang
penting telah siap masuk ke dalam koper.
………………………………………..................................................…….
“Waaaaaaah sekarang kita ada stadion ke-sebelasannya
England nih. Wembley Stadium. Eh foto
gue lagi rull, nih nih di sini nih.” Gue mencoba mengambil posisi tepat di
depan pintu masuk stadium megah yang menjadi stadion terbesar kedua di Eropa
setelah Camp Nou.
“Temen kerja kita di kantor pasti iri berat nih sama
foto-foto gue semingguan ini. Biarin deh, yang penting gue bisa senang-senang
setelah setahunan berkutat sama proposal dan anggaran dana di kantor, rull.”
Gue berkomentar sambil melihat-lihat hasil foto di kamera yang menjadi senjata
utama Rully di sini.
“Ya iyalah, setiap pindah tempat ada aja yang lo post
di media social. Dasar.” Rully mengomentari kelakuan gue yang gak pernah bisa
jauh dari media social.
“Ini 2014 rul, masanya globalisasi, informasi lebih
cepat di dapat. Kalo emang bisa berbagi kebahagiaan dan rasa melalui gambar dan
tulisan, kenapa enggak ?”
“Iya deh. Gue sih ngalah aja. Elo deh yang menang.”
Kembali lagu Rully mengalah di debat kesekian kami, dan gue tersenyum penuh
kemenangan.
“Well,
berhubung kita sudah sampe di stadion terakhir di liburan kita kali ini. Gue
mau ngasih tau sedikit info. Jadi Wembley
Stadium yang
dirancang oleh Foster & Partners dan Populous ini dapat menampung 90.000
bangku, secara merupakan stadion terbesar kedua di Eropa setelah Camp Nou. Tuh
lihat deh, lengkungan baja yang terkenal di atapnya merupakan lengkungan baja
struktur atap dengan bentangan tunggal terpanjang di dunia. Rentang lengkungan
baja tersebut sendiri adalah 317 meter…….”
Rully mulai memberikan ceramah
singkatnya mengenai stadion kesebelasan Inggris, dan gue kembali mengekor
dibelakangnya bagaikan peserta tour. Here we go.
Rully
Hanni udah
gak bad mood kayak kemarin, dia udah bisa kembali mengoceh tentang segala hal.
Thank God. Semoga hari ini hari terakhir yang bisa berjalan lancar. Gue
membatin dan tersenyum melihat Hanni yang sedang sibuk mengomentari foto-foto
yang ada di kamera gue selama hampir semingguan ini. Perjalanan tur di Wembley Stadium tadi mengakhiri 7
stadion legendaries di inggris yang ingin gue kunjungin selama disini.
“Rul, kita naik ke London Eye nya kapan ?” Hanni
menanyakan destinasi terakhir yang gue janjikan kepadanya.
“Sore ini. Yuk kita jalan
sekarang. Udahan kan minumnya ?”
“Udah kok, yuk.”
Gue dan Hanni berjalan
menyusuri kota dan berhenti di sekitar London
Eye. Megahnya merupakan simbol ikonik modernitas Britania Raya sejak dibuka
pada Maret tahun 2000, dan dapat mengangkut 800 penumpang dalam satu kali
putaran atau setara dengan 11 bus double-decker. Tapi semua itu seakan
menyadarkan gue bahwa ada sebuah kejujuran yang harus terungkap di sore ini, di
hari ketujuh perjalanan gue dan Hanni.
“Yuk Han, kita naik.” Gue pun
menarik lembut tangan Hanni untuk menaiki London
Eye.
Hanni
“Indah ya
rull ? Tuh lihat, gue bisa lihat kota Inggris dari sini. Indah banget.” Gue
berseru norak. My bad. Tapi entah
kenapa sedari tadi gue merasa Rully berprilaku aneh, enggak kayak biasanya.
Seakan dia menyembunyikan sesuatu dari gue dan membuatnya gelisah. Mungkin cuma
perasaan gue aja.
“Rull, hari ini hari terakhir
kita di Inggris. Hari terakhir gue di tutup dengan naik salah satu ikonik
Inggris. Saat senja seperti ini lagi. Senja itu selalu indah ya. Terkadang
banyak orang tidak menyadari bahwa senja yang ditawarkan Tuhan, bagaikan
kegagalan yang menghampiri. Akan selalu ada di tengah-tengah, agar kita yakin
bahwa malam akan segera dating. Begitu juga kegagalan, nyatanya ia ada untuk
mengingatkan bahwa kita sudah berusaha dan akan segera mencapai impian kita.
Bukannya yang berusaha keras yang akan segera berhasil ?”
Keheningan mendera di antara
gue dan Rully.
“Kayak sekarang, kalo gue gak
gagal sama Tian, mungkin impian gue buat jalan-jalan ke Inggris gak akan pernah
terpikir dan terwujud sampai sekarang. Ya kan rull ?” Gue menikmati senja dan
bertanya tanpa melihat kepadanya. Seakan bukan ingin dijawab, hanya ingin
menyatakan ke diri gue sendiri.
“Han, lo masih mengingat sakit
yang di berikan oleh Tian ?” Ada nada kehati-hatian yang dilontarkan oleh Rully
ke gue, dan itu malah membuat gue tersenyum.
“Gue cuma manusia biasa yang
gak segampang itu untuk amnesia. Gue pasti masih ingat di setiap inci rasa
sakitnya. Tapi….” Gue menggantung ucapan, seperti berusaha meyakinkan diri
sendiri dengan kenyataan yang sebenarnya.
“Tapi apa ?” Rully bertanya
perlahan.
“Tapi gue harus yakin bahwa
Tian pergi demi kebaikan gue sendiri. Tuhan biarin dia pergi, agar gue bisa
memikirkan diri gue sendiri. And here we
are, ini salah satu impian gue. Menginjakkan kaki gue di Inggris. Mengganti
rasa penat dengan setiap inci keindahan Britania Raya. Gue bersyukur Tuhan
selalu punya cara-Nya tersendiri untuk menyembuhkan.” Gue menjawab pertanyaan
Rully dengan mantap. Mengambil keputusan besar untuk merelakan memang tidak
akan pernah mudah.
“Baguslah kalo emang kayak
gitu. Itu berarti gue bisa ngenalin elo ke seseorang yang juga menjadi salah
satu mimpi gue untuk bisa di ajak ke Inggris.” Tatapan Rully kini berubah
serius menghadap gue.
“Oh ya ? Siapa ? Kok lo ga
pernah cerita kalau udah memilih buat serius ? Gue kenal gak orangnya ? Atau
jangan-jangan lo balikan sama Ririn ?”
Rully tertawa mendengar
pertanyaan gue. “Gak balikan kok Han. Lo juga kenal kok orangnya. Fotonya juga
ada di kamera gue.”
“Mana sini kamera lo. Gue cek
lagi sini. Perasaan tadi gak ada deh foto cewek.” Beberapa saat gue bolak-balik
memeriksa gambar di kameranya. “Mana sih ? Adanya Cuma foto gue doang dari awal
sampe akhir.”
Rully menatap gue dan dengan
lembut menggenggam kedua tangan gue yang memegang kamera. Sesaat dia menunjuk
foto candid gue yang sedang tertawa lepas. “Dia orangnya Han. Orang yang entah
sejak kapan menjadi impian gue untuk diajak ke Inggris, karena gue tau dia suka
sejarah, Manchester United dan semua hal tentang inggris. Dan gue bersyukur
sekarang impian gue terwujud.”
Gue speechless.
“Gue tahu lo mungkin kaget,
karena hubungan pertemanan kita yang udah cukup lama. Gue juga takut apa yang
gue ungkapin di hari ini bakal menghancurkan semuanya. Tapi, setelah melihat
keberanian lo buat merelakan rasa buat Tian, gue juga harus berani untuk jujur
di depan elo. Di bawah langit Inggris, di ketinggian kira-kira 135 meter,
disaksikan langsung oleh senja dari atas London
Eye. Gue pengen bilang kalo gue sayang sama elo, Hanni Raviolla. Gak peduli
harus jam berapapun terbangun demi mendengar tangisan lo. Rengekan manja lo di
saat meminta sesuatu. Mendengarkan semua celoteh lo tentang para pemain ganteng
kesukaan lo. Ataupun memesankan iced
chocolate di setiap pertemuan kita. Gue bakal tetep sayang sama lo. Entah
sejak kapan, tapi hari ini rasa itu tetap ada.” Rully memuntahkan semua alasan
dari setiap tingkahnya yang berbeda hari ini.
Gak terasa air mata gue
mengalir satu persatu.
………………………………………………………………………………………
Rully
Di sore hari terakhir liburan
di Inggris. Hanni belajar untuk meninggalkan semua lukanya di Inggris dan ingin
kembali dengan kenangan manis tentang Inggris. Sedangkan gue, akhirnya, gue
bisa ngomong semua yang gue rasain di depan dia. Walaupun akhirnya gak semanis
yang gue harapin.
Seenggaknya, impian utama gue
untuk pergi ke inggris terwujud bersama impian gue lainnya untuk mengajak
wanita yang gue cintai untuk menikmati keindahannya.
“Rull, buru. Kita udah mesti boarding nih. Ngelamunin apaan sih ?”
Hanni sudah berdiri mengomel dan berjalan mendahului menuju ke pintu boarding pesawat pulang ke Indonesia.
Good bye
England, see you next time. Terimakasih untuk cerita selama tujuh harinya.
Hanni
“Gue gak tau
harus ngejawab apa.”
“Lo gak
perlu jawab kok. Gue kan gak nanya. Tapi, terimakasih ya udah dengerin
semuanya. Lo bisa menjawab dengan pernyataan, kalau emang lo udah siap.”
Gue
tersenyum mendengar ucapan bijak Rully yang gue tau, pasti susah untuk dia
berkata jujur seperti itu. Hampir sepuluh tahun lebih gue kenal dia, dan baru
sekarang gue dengar dia bertutur manis seperti itu. “Kita coba pelan-pelan
mulai semuanya dari awal ya ?”
Rully pun
tersenyum mendengar jawaban gue, dan gue yakin dia ngerti maksud gue.
“Rull…..”kemudian
gue terdiam.
“Apa ?”
Tatapan dan suaranya lembut banget.
“Gue laper.”
Jawab gue sambil mengeluarkan senyum meringis.
Begitulah akhir cerita gue dan
Rully selama 7 hari liburan di Inggris. Hidup gue mendadak berubah lebih baik
mendengar pengakuannya sore itu. Meski gue dan dia gak bisa lagi disebut teman,
karena kita mencoba untuk lebih dekat lagi walaupun tanpa hubungan yang pasti.
Gue dan Rully pulang dengan cerita masing-masing. Semoga ini menjadi awal yang baru buat gue. Siapapun yang berkata bahwa yang
pergi akan tergantikan dengan yang lebih baik lagi, gue sependapat dengannya.
Terimakasih untuk setiap
pelajaran disetiap inci kehidupannya, England.
Wembley Stadium by Google.com |
London Eye by Google.com |
THE END
Akhirnya selesai ceritanya, tapi gak buat doanya. Semoga cerita-mepet-tiga-hari-nya dilirik sama mister. Aamiin! :) |
Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
No comments:
Post a Comment