Day 4
Hanni
“Ul, kita
jadwalnya hari ini ke Emirates Stadium dan White Hart Line ya ?” Tanya gue
malas-malasan.
“Al, Ul, Al,
Ul. Nama gue Rully. Bukan Tukul. Panggil yang bener dong Han. Kebiasaan nih !”
Rully yang awalnya sibuk dengan kamera Canon Eos di tangannya kini memandang
sewot ke gue.
“Iyaaaa Rully Anggaraksa si lelaki blasteran
pemikat hati wanita se-Jabodetabek. Hari ini kita jadwalnya ke dua stadium itu
ya ?”
“Iya Hanni
Raviolla. Kita bakalan ke Emirates Stadium dan White Hart Lane.
Nih lihat gue udah cakep banget kan pake jersey
nya The gooners ?” Ucap Rully dengan bangganya menunjukkan jersey tim kesayangannya.
Arsenal FC.
“Iya, lo
cakep kok. Kalo gak sering menunjukkan muka datar tanpa ekspresi dan sok cool
lo itu.” Gue menimpali sambil memelet lidah ke arahnya.
Rully
“Here we
are……….. Emirates Stadium !
Tempatnya para the gooners. “ Gue tersenyum puas udah bisa menjejakkan kaki di
depan stadium megah ini.
“Tunggu!
Sebelum lo kasih wejangan ala-ala pemandu tur. Gue tau kalo Stadion kebanggaan
Arsenal yang terletak di Ashburton Grove, Holloway, London utara ini sanggup
menampung sekitar 60 ribuan tempat duduk, menggantikan stadion lama Arsenal,
Highbury yang telah dipakai Arsenal selama kurang lebih 93 tahun, ya kan ?”
Hanni menjelaskan hal tentang Emirates Stadium dengan tampang
gue-juga-bisa-tahu-kok nya.
“Woooooow,
seorang Hanni Raviolla bisa juga tau tentang sejarah persepakbolaan ? Bukan
cuma nama para pemain dengan tampang cakep. Hahahaha.” Gue menggoda
Hanni dengan penjelasannya tadi.
“Ya iyalah.
Lo kira gue buta-buta amat masalah sepakbola ? Gini-gini gue kan juga suka
sejarah dan persepakbolaan di Inggris juga masuk di salah satunya.”
“Nah, karena
lo udah tau, kita keliling ke dalam yuk skalian gue jelasin lebih jauh lagi.
Jadi, Stadion Emirates pertama kali digunakan pada tahun 2006 di laga
persahabatan Arsenal vs Timnas. Sebuah laga yang berlangsung sebagai
penghormatan kepada mantan penyerang Arsenal sekaligus pemain timnas Belanda,
Dennis Bergkamp, yang pensiun di musim tersebut…………..”
Gue pun
mencoba memberitahu Hanni sedikit banyak sejarah yang gue kuasai, karena gue
tau, dia suka tentang sejarah, dan kenangan. Karena baginya, sejarahlah yang
membuat kita tetap hidup dan menjadi pelajaran untuk menjadi lebih baik lagi.
Berharap juga suatu saat ketika dia mengingat, dia menemukan serpihan
tentang keberadaaan gue di hidupnya.
Hanni
“Kalo di
sini, pemain yang ganteng siapa rul ?” Tanya Hanni sesaat setelah menjejaki White Hart Lane milik Tottenham Hotspurs FC
“Siapa ya ? Erik Manuel Lamela mungkin.” Rully
menjawab pertanyaan gue gak pasti.
“Wait……… Waaaaah iya. Beneran ganteng.” Gue langsung mencari siapa dan
bagaimana rupa si Erik Manuel Lamela yang di bilang Rully, dan ternyata dia
beneran cakep. Masih muda lagi, duh.
“Ya ampun ini orang. Beneran
sampe di google coba. Niat lo kebangetan sih Han.” Rully menggeleng kepalanya
saat dia melihat gue men-scrool layar
handphone yang berisi informasi
tentang pemain ganteng tersebut.
Setelah puas mengelilingi kediamannya Tottenham Hotspurs FC hingga sore,
gue dan Rully memutuskan untuk mampir sejenak membeli ke kedai kopi. Seperti
biasa, melepas lelah seharian mengelilingi 2 stadium besar seperti Emirates
Stadium dan White Hart Line.
“Lo pesen kayak biasa kan Han ? Iced
Chocolate tapi esnya sedikit aja, jangan terlalu manis ?” Rully memastikan
pesanan gue sebelum memberitahukannya kepada waitress.
Gue hanya membalas pertanyaannya dengan anggukan. Rully adalah lelaki yang
paling sempurna dalam mengingat sesuatu, setidaknya dia lebih baik dari gue.
Bahkan untuk hal kecil seperti minuman kesukaan gue beserta takarannya, dia
hafal. Siapapun wanita yang kini ataupun nanti mengisi hatinya, pasti wanita
yang beruntung. Karena Rully gak akan pernah melupakan sedikitpun hal penting
tentang dirinya. Beda banget sama Tian.
Ah, Tian lagi. Kapan gue bisa lepas sih dari bayang-bayang lelaki itu ?
Day 5
Rully
“RUUUULLYY
BANGUUUUN! AYOK KITA JALAN KE MANCHESTER !” Hanni membangunkan gue dengan
setengah berteriak dan gue masih ngantuk banget, karena semalam gue harus rela
menemani sang putri ini berjalan-jalan di King’s
Cross Station yang dengan hebohnya dia ingin berfoto di Peron 9 ¾ dengan
alasan, kalau bisa saja nanti Harry Potter dan teman-temannya keluar dari
dinding bata tersebut. Meski alasannya bisa dibilang terlalu imajinatif dan
hampir gak masuk akal, tapi gue nyatanya rela-rela aja buat ngikutin dia kemana
aja, meskipun rasanya badan udah kangen banget sama kasur di penginapan.
Akhirnya
setelah melewati beberapa jam perjalanan dari kota London, kita berdua sampai
di kota Manchester. Tempat pertama yang langsung di kunjungi oleh Hanni adalah Old Trafford. Stadium kebanggaan milik
Klub besar Manchester United ini
adalah salah satu destination
kesepakatan kita berdua. Hanni sebenarnya gak telalu suka sepakbola, tetapi
setau gue dia mengidolakan klub setan merah ini. Kalau gak percaya, Tanya siapa
aja nama pemain berwajah ganteng yang sempat bermain di klub besar ini. Dia
pasti bisa menjawabnya daripada nama pemain klub besar lainnya.
“Nih ya rul,
Stadion yang sempat hancur karena serangan Jerman pada tahun 1940 ini mampu
menampung kira-kira 70 ribuan penonton. Dengan julukan Theatre of Dreams yang diberikan oleh Sir Bobby Charlton, seorang
legenda Manchester United, Old Trafford
nyatanya telah banyak mewujudkan mimpi-mimpi para pemain yang berlaga di
dalamnya.” Hanni menjelaskan panjang lebar mengenai Old Trafford.
Gue cuma
diam mendengarkan sambil sesekali memotret sekeliling. Gue baru mau
mengomentari kenapa dia tidak menyebutkan tentang para pemain ganteng
kesukaannya, ketika tiba-tiba Hanni menceletukkan sesuatu, “Oh iya, pemain muda
yang ganteng di Manchester United namanya Janujaz, rul. Lucu loh dia.”
Tuhkan bener
apa pemikiran gue.
Hanni
Setelah tadi
gue udah puas banget bisa di foto di sudut Old
Trafford, maksud gue setengah memaksa Rully untuk hampir 5 menit sekali
memfokuskan lensanya ke gue, sekarang perjalanan gue berlanjut ke Etihad Stadium milik saingan berat satu
kotanya si setan merah, yaitu Manchester
City FC.
“Stadion City of Manchester di Manchester, Inggris, yang kemudian dikenal
dengan nama Etihad Stadium karena sponsornya, merupakan sebuah stadion tempat
klub sepakbola Manchester City bermukim sejak 2003. Pertandingan pertama di
stadion ini adalah pertandingan persahabatan antara Manchester City melawan
Barcelona pada tanggal 10 Agustus 2003. Manchester City memenangi pertandingan
tersebut dengan skor 2-1—Nicolas Anelka yang mencetak gol pertama kali di
stadion ini.”
Gue membaca
sekilas informasi yang terdapat di Stadium ini, mengikuti para peserta lain
yang juga dipandu oleh Guide Tour
kami.
“Rul,
menurut lo Manchester City dan Manchester United pernah tawuran juga gak sih
kayak pelajar di negara kita ? Kan mereka musuhan dan tempatnya gak terlalu
jauh. Kan seru kalo gitu.” Gue bertanya asal kepada Rully yang sedang mengikuti
penjelasan dari Guide Tour.
“Mungkin.
Tapi kayaknya gak bakal serusuh itu deh. Pelajar di negara kita suka rusuh ?
Itu sih masa lalu elo aja kali, gue sih waktu jadi anak sekolahan kan anak
baik-baik Han. Ngapain rusuh? Sama-sama makan nasi, sama-sama pake seragam,
sama-sama berstatus warga negara di negara yang sama. Bukannya damai lebih enak
ya ?” Rully menjawab diplomatis pertanyaan gue sambil menyunggingkan senyum
meremehkannya.
Pengen gue
toyor rasanya dia. Untung dia terselamatkan oleh tampang Jawa - Belanda nya yang
membuat dia tampak lebih memikat daripada peserta Tour hari ini. Duh, kenapa
gue mendadak kepikiran kayak gitu sih ?
Day 6
Rully
Gue mencoba mensejajarkan langkah Hanni yang sedari
tadi selalu ketinggalan di belakang. Kondisinya sepertinya sedang tidak dalam
kondisi yang bagus. Entah badannya, entah hatinya. Akhirnya, gue pun
memberanikan diri untuk menanyakan.
“Kenapa sih Han ? Lo gak enak badan ? Atau kita
batalin aja ke Liverpool nya hari ini ?” Tanya gue cemas.
“Gakpapa. Gue gakpapa kok Rul. Gak bisa gitu dong, kan
kita udah ngerencanain buat mampir ke The
Beatles Story dan Anfield Stadium kan.”
Hanni menyunggingkan senyumnya. Tapi gue tau itu senyum terpaksa.
Beberapa jam
kemudian
“Nah, jadi Stadion
tempat The Reds bernaung sejak 1892
ini dibangun pada 1884 dan memiliki kapasitas 45.276 orang. Stadion ini awalnya
adalah kandang dari klub Everton F.C. dari tahun 1884 hingga 1892 kemudian
Everton pindah ke stadion Goodison Park.
Gitu ceritanya han. Han ? Lo dengerin gue gak ?” Gue berhenti menjelaskan
tentang Anfield Stadium ketika gue
sadar kalo Hanni sedang melamunkan sesuatu.
“Oh. Iya Rul. Denger kok, tadi sampe mana kita ? Lanjutin lagi yuk
kelilingnya.” Dengan muka kebingungan Hanni tetap melanjutkan keliling Stadium
ini hingga selesai.
Gue hanya bisa menghela napas dan mengikutinya dari belakang.
Lo kenapa sih Han ? Kok
mendadak jadi gak semangat gini.
Hanni
“Rul, disinilah replika patung keempat personil The Beatles dan
replika panggung The Cavern Club, tempat The Beatles memulai popularitasnya
pada 60an berada. Sekitar 300.000 orang datang ke tempat ini setiap tahunnya
dan beruntungnya kita jadi salah satu diantara 300.000 orang tersebut.” Gue
menjelaskan singkat mengenai The Beatles
Story yang terletak di Britannia Vaults, Kings Dock St, Liverpool L3 4AD,
Inggris. Salah satu destinasi yang sayang banget kalau sampe terlewatkan,
apalagi bagi para pecinta musik.
“Han, gue motret ke sana dulu ya. Lo keliling aja
dulu.” Rully menunjuk ke arah lain dari tempat gue berdiri sekarang. Gue hanya
menyambut pernyataannya dengan anggukan.
Entah kenapa harusnya kesini adalah salah satu destinasi
kesukaan gue, tapi mengingat percakapan gue dengan seseorang tadi malam,
mendadak mood gue menguap entah
kemana.
Tian Baskara : “Han, Apa kabar ? Udah lama ya kita gak komunikasi.
Melihat nama
“Tian Baskara” muncul di chat private, gue mendadak merasakan keheningan
sesaat. Ingin sekali menghapus segera chat yang masuk dan melenyapkan
kemungkinan perbincangan diantara gue dan dia. Tapi gue gak mau dianggap
pengecut yang gak bisa move on.
Hanni Raviolla : “ Baik yan. Iya, udah hampir setahun.”
Tian Baskara : “Bagus deh kalo baik-baik aja. Katanya kamu lagi liburan di Inggris ya ? Wah, seru dong. Kok ga ngajak-ngajak sih ?"
Rasanya pengen
banget gue jawab, “MENURUT NGANAAAA???!! GUE JAUH-JAUH KESINI SALAH SATU
ALASANNYA JUGA KARENA GUE GAK MAU KETEMU ELO!”
Hanni Raviolla :”Iya, berdua sama Rully. Bosen sama kerjaan di kantor. Lagian kalo ngajak kamu nanti cewek bule kamu marah lagi. Hehehe. Just kidding, yan."
Klise banget
sih jawaban lo, Han. Gue protes ke diri sendiri.
Tian Baskara : “Hahahaha. Cewek bule maksud kamu si Shyla ? Aku udah enggak sama dia. Beberapa bulan setelah putus sama kamu, aku mutusin dia, Han. Aku nyesel udah salah pilih.
Kemudian
hening. Pembicaraan klise selanjutnya. Penyesalan yang dating terlambat karena
telah salah memilih. Gue rasa percakapan ini bakalan bikin rusak pertahanan gue
selama ini, lebih baik gue istirahat buat besok ke The Beatles Story dan Anfield
Stadium bareng Rully.
Hanni Raviolla : Oh gitu. Udah dulu ya yan, aku mau istirahat, besok mesti jalan lagi. Night.
*Turn Off*
“Han ? Han ? Woy ?” Rully mengibas-ngibaskan tangannya
di depan muka gue.
“Eh iya Rul. Udah kelar kelilingnya ? Gue juga udah
nih tadi. Banyak banget peninggalan dan material yang berhubungan sama The
Beatles di sini. Surganya maniak The Beatles nih kayaknya disini. Gak rugi
banget datang kesini ya kita.” Gue mencoba mencairkan suasana yang sempat
hening dan melangkahkan kaki menuju kea rah pintu keluar.
Gue butuh istirahat secepatnya di penginapan. Hati gue
juga butuh.
Rully
Elo kenapa
lagi sih Han ? Gue merasa jadi seseorang yang gak terlihat di depan lo. Gak mau
cerita, bertindak seakan semuanya baik-baik aja. Sok kuat banget. Gue
Cuma bisa menghela napas dan membatin.
To Be Continued.
Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
No comments:
Post a Comment