Day 1
Hanni
“RULLYYYY KITA DI TRAFALGAR SQUARE !!!” Hanni
setengah berteriak sambil membentangkan tangannya.
Gue pengen
banget kesini waktu acara Royal Wedding,
pengen banget jadi salah satu warga Inggris yang berdiri menghadiri perhelatan
besar seperti pernikahan Prince
William dan Kate Middleton. Gue juga pengen ikut dalam moonwalk massal, yang
diadakan sehari setelah kematian King of Pop, Michael Jackson. Dengan banyak
hiasan patung, Trafalgar Square juga
memiliki satu patung khusus bernama Nelson Column, sebuah monument setinggi 50
meter untuk mengenang Laksamana Horatio Nelson yang tewas pada pertempuran
Trafalgar.
Gue menarik tangan
Rully yang sedang asik memotret pemandangan lalu lalang orang-orang di Trafalgar Square.
“Lo mesti
fotoin gue disini, gue mau update di path nih.” Gue pun langsung mengambil
posisi strategis di depan air mancur.
“Dasar lo maniak social media” ujar Rully sewot karena keasikannya terganggu, sambil
mengarahkan lensanya ke gue.
Setelah
menikmati pemandangan di Trafalgar Square, dan mengitari lorong demi lorong di
Museum Sherlock Holmes gue menyeret langkah Rully menuju ke sebuah kedai kopi.
Gue butuh iced chocolate. Gue tau ini
gak nyambung, tapi yang suka kopi itu Rully, gue sih sukanya iced chocolate. Manis, karena hidup
terkadang sudah terlalu pahit kayak kopi.
Rully
Badan gue
masih Jet lag dan Hanni dengan tanpa
dosanya udah nyeret gue kemana-mana. Ini baru hari pertama, dan Hanni entah dia
terlalu excited atau memang gak
merasakan capek berkeliling sana-sini.
Meski Jet lag, meski gue kekurangan asupan
kopi dari semenjak menjejakkan kaki di Inggris, Gue rela melakukan semuanya
demi kepuasan melihat Hanni bisa tersenyum lagi kayak sekarang.
“Jangan
kecapekkan dulu Han, kita besok bakalan ngunjungin Buckingham Pallace sama Big
Ben.” Gue mengingatkan Hanni dengan nada datar. Padahal kenyataannya gue
pengen banget pake nada khawatir. Cuma gue yakin dia bakalan bengong dan ketawa
kalo sampe itu benar kejadian.
“Siap bos!
Gue juga mau istirahat dulu. Masih jetlag nih gue. Tapi, semuanya hilang
mendadak tadi waktu gue bisa merasakan aura si Sherlock di Museum Sherlock Holmes. Pokoknya gue mau seneng-seneng semingguan
menghabiskan hari di semua icon Inggris ini.”
“Pokoknya
jangan lupa….” Belom sempat Rully menghabiskan perkataannya, gue udah tau
jawabannya.
“Tujuh stadion
legendaris di Inggris yang harus kita kunjungin.” Ucap Rully dan Hanni
berbarengan.
“Gue udah
hafal, itu kalimat sakti lo setiap kita ngebahas perjalanan ke sini.” Hanni
mengomentari kalimat Rully barusan.
Rully Tersenyum. Ah, cowok berjambul lengkap dengan
kaos lengan pendek andalannya ini melayangkan senyum manisnya ke gue. Seakan
menggoda untuk mempunyai hubungan lebih dari sekedar sepuluh tahun pertemanan
gue sama dia. Sayang, gue masih belum bisa menata hati setelah sebelumnya di
porakporandakan oleh cowok brengsek, penghapus impian gue, Tian. Alasan gue
buat menginjakkan kaki ke Inggris, bukan hanya karena gue emang pengen banget
kesini, ketempat impian gue entah sejak kapan. Tapi juga karena gue
sejenak ingin benar-benar melangkah pergi dan melepas penat. Benar-benar
liburan. Karena disetiap sudut kota, gue selalu teringat dengan masa lalu dan
kenangan pahit. Gue benci Tian, dengan segala keputusan sepihaknya, juga dengan
caranya mengakhiri penantian gue terhadapnya. Kebohongan yang udah dia lakukan,
membuat gue sejenak gak bisa berpikir sehat, beruntungnya, saat itu gue punya
Rully. Dia sahabat gue yang paling tahu kapan harus mengeluarkan suara, atau
hanya duduk bersanding diam menyeruput kopi hangat kesukaannya. Bahkan dia juga
orang pertama yang memberikan pelukannya di pukul 03.00 pagi, saat gue
membangunkannya melalui telepon dan bercerita tentang putusnya hubungan gue dan
Tian. Hanya cukup 20 menit, dan dia sudah datang untuk menenangkan tanpa gue
minta.
Day 2
Rully
“Ull, gue udah cocok belom sih pake dress ini ? Gue
pengen pake baju yang cakepan dikit nih buat ke Buckingham Pallace.” Hanni melayangkan pertanyaan sembari mematut
diri di kaca.
“Udah han, udah cocok kok. Buruan, nanti kesiangan. Lo
serba lelet nih, lama-lama gue tinggalin duluan nih ya.”
“Iya iya nih gue udah siap.”
“Lo tuh ya, atasannya sih boleh manis banget pake
dress. Bawahnya tetep aja pake sneakers. Heran gue, gak ada cewek-ceweknya
banget.” Gue berbicara sambil mengikat tali sepatunya yang terlepas. Kebiasaan Hanni
ketika sedang terburu-buru.
“Kita bakalan ke The Queen's House. Meski
tidak pernah menerapkan dress code
resmi, tetapi gak ada satu orang pun yang mengunjungi Buckingham Palace dengan pakaian lusuh. Kebanyakan menggunakan jas
ataupun seragam kerja waktu mengunjungi ‘Rumah’ Sang Ratu Inggris itu, dan gue
gak mau salah kostum.” Penjelasan Hanni ke gue selanjutnya persis seperti
seorang guru sejarah kepada muridnya
“Iya, kita juga bakalan lanjut ke The Clock Tower berdentang pertama kali pada 31 Mei 1859. Nama Big Ben sendiri berasal dari nama Sir Benjamin Hall, komisaris pada pembangunan Big Ben pada tahun 1858. Di puncak menara juga terdapat sebuah lonceng bernama Great Bell yang di sekitarnya ada 4 lonceng kecil bernama Little Bens. Juga terdapat sebuah prasasti dengan tulisan latin yang berbunyi: Domine Salvam Fac Reginam Nostrum Victoriam Primam atau O Lord, keep safe our Queen Victoria the First. Ya kan ?” Tambah gue dengan yakin.
“Iya, kita juga bakalan lanjut ke The Clock Tower berdentang pertama kali pada 31 Mei 1859. Nama Big Ben sendiri berasal dari nama Sir Benjamin Hall, komisaris pada pembangunan Big Ben pada tahun 1858. Di puncak menara juga terdapat sebuah lonceng bernama Great Bell yang di sekitarnya ada 4 lonceng kecil bernama Little Bens. Juga terdapat sebuah prasasti dengan tulisan latin yang berbunyi: Domine Salvam Fac Reginam Nostrum Victoriam Primam atau O Lord, keep safe our Queen Victoria the First. Ya kan ?” Tambah gue dengan yakin.
“Wah, lo tau juga ya. Gak nyangka lo tau
banyak tentang Inggris.” Hanni menatap takjub ke arah gue.
“Baru sadar,
tuan putri ? Buruan deh yuk.”
Sore hari di sepanjang jalan Big Ben.
“Ul, lo tau kenapa Big Ben bisa jadi salah satu Icon
nya London ?” Tanya Hanni sambil memandang kegagahan jam besar di hadapannya.
“Kenapa ?” Gue malah balik nanya sambil memfokuskan lensa
gue ke pemandangan manis Big Ben di
sore hari menjelang malam.
“Karena dia pengingat waktu, ul. Biar orang-orang
tetap ingat, gak peduli apapun yang terjadi entah itu sakit maupun seneng,
waktu tetap berjalan. Buat ngingetin orang kayak gue, kalau hidup gak bakal
nungguin gue, selama gue memeluk lutut seharian di kamar sehabis patah hati. Hidup
bakal terus berjalan, bahkan saat gue pengen banget waktu berhenti sedetik
saja. Berhenti untuk menjentikkan rasa sakitnya.” Jawab Hanni sambil terus
menatap ke arah Big Ben.
“Big Ben itu keren kan ul ?” Lanjutnya lagi sambil
tersenyum. Senyum seakan mencoba menerima semuanya.
Gue cuma bisa bergumam sambil memandangnya dari samping dan menjaganya
untuk tetap baik-baik saja. Gue tau, sekarang yang dia butuhin cuma waktu untuk
bermain dengan pikirannya sendiri. Itu Berarti tambahan waktu buat gue untuk
memotret candid wajahnya. Hanni selalu tampak lebih cantik ketika dia
melamunkan sesuatu, gue selalu suka saat itu untuk diabadikan. Seperti
sekarang.
Hanni
Day 3
Hanni
“Westminster Abbey juga merupakan tempat tradisional penobatan raja dan
ratu Inggris serta pemakaman mereka. Orang tidak dikenal yang terakhir kali
dimakamkan di Westminster adalah seorang prajurit Prancis pada tahun 1920. Pengantin
wanita kerajaan selalu menaruh bunga pernikahannya pada makam prajurit tak
dikenal di Westminster Abbey. Tradisi ini dimulai oleh Ibunda dari Ratu
Elizabeth, saat menikah dengan Raja George VI….”
Sayup – sayup gue mendengar
suara seorang pemandu yang sedang menjelaskan sekilas cerita tentang The Collegiate Church of St Peter, yang
lebih dikenal dengan nama Westminster
Abbey kepada peserta turnya. Gue takjub dengan keagungan gereja yang sudah berdiri lama namun
tetap berdiri gagah. Kegagahannya mengingatkan gue dengan gereja Katedral yang
ada di Jakarta, tapi masing-masing punya sisi manis dan ceritanya tersendiri.
“Gue gak ngebayangin, di sini
adalah tempat Prince William dan Kate
Middleton disahkan menjadi sepasang suami istri sehidup semati. Gue berharap
semoga suatu saat, gue bisa bertemu orang itu. Seseorang seperti Prince William yang pantas untuk
mendampingi dan gue dampingin sampe akhir hayat.” Gue melangkahkan kaki
mengikuti lorong gereja ini seakan menjadi Kate Middleton yang digandeng oleh Prince William.
“Aamiin, semoga impian lo
terwujud. Gue yakin kok takdir Tuhan udah menggariskan yang terbaik buat
kehidupan lo sampe nanti lo menutup mata. Tapi……” Rully menggantung ucapannya.
“Tapi apa ul ?”
“Tapi gue gak yakin jodoh lo
bisa kayak Prince William deh Han.
Secara lo aja jauh dari figure Kate Middleton begitu. Hahahahahaha” Gelak Rully
tak tertahan lagi dan itu menyebalkan terdengar di telinga gue.
“Nyebelin lo !” Tangan gue
menyubit lengannya dan menikmati rintihan kesakitannya. “Emang enak.”
Rully
“Aamiin, semoga impian lo
terwujud. Gue yakin kok takdir Tuhan udah menggariskan yang terbaik buat
kehidupan lo sampe nanti lo menutup mata. Tapi……” Gue menggantung ucapan.
“Tapi apa ul ?”
“Tapi semoga apa yang digariskan Tuhan itu adalah kehadiran gue di hidup
lo untuk selamanya, Han. Gue yang akan mendampingi lo sampai akhir hayat.” Sayangnya
gue Cuma bisa berbicara ini didalam hati.
“Tapi gue gak yakin jodoh lo
bisa kayak Prince William deh Han.
Secara lo aja jauh dari figure Kate Middleton begitu. Hahahahahaha” Gelak gue
tak tertahan lagi dan itu membuat Hanni melayangkan cubitannya.
………………………
“Oke, ini adalah Stamford Bridge. Lo tau lah ya, tempat
bernaungnya tim Chelsea FC. Dibuka
pada tahun 1877 dan digunakan oleh London Athletics Club hingga tahun 1905,
saat pemilik baru Gus Mears mendirikan Chelsea Football Club untuk menempati
stadion tersebut. Stadion dengan kapasitas 41.837 kursi ini memiliki tribun
yang dinamakan sesuai dengan nama mantan wakil ketua Chelsea, Matthew Harding,
yang investasinya telah membantu transformasi klub pada awal dekade 1990-an.”
Gue menjelaskan panjang lebar ke Hanni dan dia mendengarkan dengan seksama.
Mukanya seperti dia tertarik dengan permainan kulit bundar. Padahal gue tau,
yang dia suka dari sepakbola adalah pemainnya yang berwajah ganteng.
Gue hapal banget gimana dia
teriak heboh bukan karena gol yang diciptkan oleh para pemain saat nobar atau
nonton di apartemen gue. Tetapi saat dia lihat Christiano Ronaldo, De Gea,
Gerrard, Oscar dan sederet nama pemain lainnya yang menurut dia memiliki
tampang diatas rata-rata. Padahal gue yakin banget kalo gue juga gak kalah
ganteng sama mereka. Walaupun gue menimpali setiap pernyataan histerisnya atau
pertanyaan konyolnya dengan datar dan sewot, gue akan selalu jawab satu per
satu dengan sabar, karena gue lebih memilih dia histeris dengan semua imajinasi
berlebihannya daripada terduduk lemas dengan senyum getirnya.
Hanni
Gue gak tau banget secara pasti setiap nama yang udah
Rully jelaskan ke gue, tapi 1 hal yang gue komentarin selain wajah ganteng para
pemain di klub sepakbola. Kapan ya stadion bola di Indonesia bisa terawat rapi
bahkan punya tur keliling kayak gini ?
To Be Continued
Make a wish buat ke Inggris gratis bareng Mister Potato sih lanjut, but first, let me take a selfie! :p |
Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
No comments:
Post a Comment