7 Days to Remember.
Bermula dari suatu pagi yang sibuk di bandara dan derap langkah seorang wanita yang terburu-buru. Kisah 7 hari yang mengubah sudut pandang dua orang manusia. Awalnya hanya pembicaraan singkat untuk rencana melarikan diri dan liburan di 7 tempat bersejarah serta 7 stadion legendaris, menjadi 7 hari penuh kenangan untuk diingat.
Hanni
"Mati deh nih, gue telat."
“Aduh, maaf mas maaf. Saya sedang buru-buru.” Gue membungkukkan
kepalanya sambil berkali-kali meminta maaf kepada orang-orang yang gak sengaja
gue tabrak. Posisi gue yang sedang setengah berlari ini benar-benar mengisyaratkan kalau gue sedang dalam kondisi memburu waktu.
“Lo telat !” Ucap seorang lelaki yang kini berdiri lurus menghadap gue dengan tatapan datarnya, seperti biasa.
“Maaf.. Tadi jalanan… mah..cet…” Nafas dan kalimat gue yang terbata-bata
diucapkan sembari melebarkan senyum. Gue tau dia kesel karena keterlambatan gue pagi ini.
“Sebentar lagi kita boarding, buruan kita masuk dan check in deh
mendingan. Gue gak mau kita batal berangkat Cuma gara-gara keterlambatan konyol
lo.” Lelaki bernama Rully itu membalikkan badan dan menarik lembut tangan kanan
gue.
Tanpa Rully sadari, jantung gue kembali berdetak lebih
cepat. Sentuhan lembut tangan Rully sukses membuat gue salah tingkah.
Di dalam pesawat.
“Gilaaaaaak! Gak kebayang banget tabungan yang gue kumpulin sampe diet
segala, dan sekarang berbuah manis. INGGRIS meeeeeeen! KITA KE INGGRIS!” Tak
kuasa Hanni menyuarakan kegembiraannya.
“Iya tau, tau. Lebay lo ah. Diet lo itu cuma mengurangi kantong
belanjaan lo di Zara atau Mark & Spencer di tiap weekend. Oh, bisa juga
untuk gak menghabiskan berjam-jam waktu lo mengelilingi mencari tempat makan terbaru?”
Rully mencibir pernyataan Hanni sambil tetap focus mengotak-ngatik kameranya.
“Heh! Lo gak tau udah berapa hari yang gue habiskan untuk menahan nafsu
belanja dan jalan-jalan gue itu. Beraaaaaaat. Heh, lo dengerin gue gak sih ?”
Tanyanya kesal ketika dia mendapati bahwa Rully lebih berminat kepada
kameranya.
“Seberat elo mesti melupakan kenangan asem-manis-campur-aduk lo sama
Tian ?” Rully membalas pertanyaannya tanpa melihatnya sedikitpun.
“………”
Keheningan sesaat membuat Rully akhirnya mengalihkan pandangannya ke gue. Lebih tepatnya ke wajah gue, yang gue yakini pasti sedang memucat mendengar pertanyaannya barusan.
“Udah deh, gak usah dibahas. Gue mau tidur. Terusin aja ngotak-ngatik
kamera lo, biar bisa foto gue dengan bagus nanti di sana.” Gue mengalihkan
pembicaraan dan memakai kacamata cokelat favorit.
"Gila ya Rully, gak banyak omong sih, tapi kena banget itu omongan. Semoga mengakhiri perbincangan ini bisa bikin gue melupakan omongan dia barusan. Semoga juga setelah gue bangun, Inggris udah di depan mata. Welcome to your truly short week of holiday, Han." Batinnya.
Rully
“Maaf.. Tadi jalanan… mah..cet…” Nafas dan kalimat Hanni yang terbata-bata
diucapkan sembari melebarkan senyum khasnya. Senyum lebar dan jenaka.
Senyum yang tanpa Hanni sadari, telah meluruhkan semua rasa kesal yang
ia punya.
“Sebentar lagi kita boarding, buruan kita masuk dan check in deh
mendingan. Gue gak mau kita batal berangkat Cuma gara-gara keterlambatan konyol
lo.” Gue pun membalikkan badan dan menarik lembut tangan kanan Hanni.
Satu-satunya cara untuk tetap berpikir normal, tanpa mengeluarkan tissue dan
mengelap keringat yang mengalir di wajah Hanni.
Sembari gue memeriksa kamera yang gue bawa, Hanni gak henti-hentinya
menyerukan kegembiraannya untuk menginjakkan kakinya di negara impiannya, Inggris.
Percakapan singkat setahun yang lalu bersama partner crime 10 tahun
belakangan ini, Hanni Raviolla, sesaat terlintas di pikiran gue. Wanita yang gue kenal sejak duduk di bangku
SMA, dan entah sejak kapan sudah bertahta manis di hati dan pikiran gue. Gimana
enggak, gue, seorang Rully Anggaraksa dengan tampang blasteran Jawa – Belanda,
pekerjaan tetap disebuah perusahaan asing bareng Hanni dan sesekali menjadi
fotografer di majalah travel ternama bisa banget buat para wanita untuk rela
mati mempertahankan keberadaan gue di sisi mereka. Sayang, selain Riri si
mantan cinta pertama gue, Cuma Hanni yang bisa buat gue bertahan.
“Lo tau gak kenapa gue harus banget nyempatin diri liburan ke Inggris ?” Hanni berbicara kepadanya
dengan mata bulat berbinarnya di suatu sore.
“Kenapa ? Karena disana ada The Beatles Story yang menyimpan memorabilia sejak The Beatles
berdiri sampai akhirnya John Lennon dan Paul McCartney bersolo karir ?” Gue menjawab
sambil mengalihkan pandangan ke jendela luar.
“Emm. Bisa juga sih alasannya gitu. Bisa juga karena gue mau mendengar
langsung lonceng ‘The Clock Tower ‘ atau
disebut juga Big Ben yang berdentang pertama kali pada 31 Mei 1859. Atau bisa
jadi juga karena gue pengen menikmati kota Inggris dengan naik London Eye. Lo bayangin aja kita bisa
berada di titik tertinggi (135 meter) dan melihat keseluruhan Inggris sejauh 40
kilometer ! Gokil gak tuh ?”
“Itu doang ? Gak kepengen ke Museum Sherlock Holmes yang dikenal dengan sebutan 221B Baker Street,
dan merupakan sebuah museum yang didedikasikan untuk karakter Sherlock Holmes ?
Salah satu detektif terkenal yang filmnya udah puluhan kali lo tonton ?”
“Kalo itu
mah pasti dong. Gue mau menyusuri lorong demi lorong dan melihat kamar Dr.
Watson. Kali aja keluar dari sana naluri detektif gue keluar. Jadi lain kali
gue punya pacar, dia ga bakal bisa selingkuhin gue. Lah, dia ga bakal bisa
bohongin gue. Ya gak ?” Ucapan Hanni melambat dan akhirnya tersenyum getir
sambil mengaduk iced chocholate pesanannya.
Gue tau
Hanni masih belum rela melepas kenangannya bersama Tian gitu aja, bukan
kehadiran Tian yang dia yakin Hanni inginkan. Tian, si cowok brengsek yang udah
menyianyiakan kesetiaan Hanni yang menunggunya 2 tahun, ketika Tian harus menyelesaikan
studynya di Belanda. Gue tau cerita Hanni dan Tian, Cerita awal pertemuan manis
mereka 5 tahun yang lalu dan berlanjut dengan hubungan serius mereka , sebelum
akhirnya Tian menginggalkan Hanni untuk mengejar impian Magister Hukumnya di
Belanda. Gue juga tau bagaimana setianya Hanni menunggu kepulangan Tian di
Jakarta, tetapi kabar buruk mengakhiri segala penantiannya. Tidak berapa lama
setelah Tian kembali ke Jakarta, dia lebih memilih untuk meninggalkan Hanni
demi menjalin kisah dengan wanita lain, teman kampusnya di Belanda yang
ternyata sudah berjalan 5 bulan sebelum kepulangannya.
Hanni tidak
masuk kantor untuk beberapa hari setelah putus hubungan dengan Tian. Bahkan ia
menolak untuk sekedar berbelanja yang menjadi salah satu hobbynya di tiap
weekend. Saat itu, gue cuma ingin Hanni
kembali tersenyum dengan mata bulatnya yang berbinar, gue akan lakukan segala
cara yang gue bisa. Tapi, Cuma Hanni sendiri yang bisa menentukkan bagaimana
harinya akan berlanjut. Akhirnya, di dalam pesawat menuju ke Inggris, dengan alasan
dia ingin benar-benar liburan, bukan jalan-jalan sambil bertemu kenangan Tian
di tiap sudut kota, gue duduk di sampingnya dan kembali mendengar celoteh tanpa
hentinya.
“Seberat elo mesti melupakan kenangan asem-manis-campur-aduk lo sama
Tian ?” Gue membalas pertanyaannya tanpa melihatnya sedikitpun.
Keheningan
sesaat membuat gue akhirnya mengalihkan pandangan kearah Hanni, dan ketika gue lihat
wajah Hanni memucat, gue sadar kalau gue udah salah ngomong. Shit.
To be continued.
England Map. By Google.com |
Ini gue, lagi nyemil veetos sambil make a wish kali aja beneran di ajak Mister Potato ke Inggris gratis! |
Nb :
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
- Semua informasi mengenai tempat di atas bisa di akses di google.com atau Mister Potato
- Maaf untuk kesamaan nama ataupun peristiwa, ini hanya cerita fiksi.
No comments:
Post a Comment