Surat untuk Ibu — Empat Belas

Friday, September 27, 2024

 Assalamualaikum, Ibuku…

Sudah lama Kakak gak mampir buat menulis ya? A lot of things happened, bu.

Salah satunya, Kakak harus merelakan untuk kepulangan Juki dalam keheningan. Hanya Juki yang tidak bersuara, tapi Kakak dan Sas berisik sekali dengan tumpahan air mata yang entah berapa episode. 

Tiga hari, bu. Jukinya sakit dan harus dirawat intensif oleh dokter. Tiap hari Kakak datang, sekedar untuk menyemangati dan mengelus kepalanya. Ibu tau ga, terakhir Kakak datang, dia berusaha mengangkat kepalanya, seakan menjawab ajakan kakak yang “Yuk, mau pulang ga?”. Mungkin memang dia ingin menghabiskan harinya yang lelah dan sendiri, dengan kembali pulang ke rumah.

Banyak sekali hal yang berputar di kepala Kakak, untuk ditanyakan ke dokter. Tapi bu, setiap Kakak datang, selalu ada kabar baru yang membuat Kakak tidak mampu berpikir jernih. Hanya ingin menemui Juki yang setiap harinya berusaha untuk bangun, tapi sudah terlalu ringkih dan tak mampu berbuat banyak.

Kembali Kakak lihat kesayangan tertidur, terbalut infus, dengan segala diagnosa penyakit yang dokter suarakan. Cek darah, XraySuspect tumor, ginjal, cairan di paru dengan segala kemungkinan treatment yang panjang dan mungkin akan melelahkan bagi Juki. Rasanya dejavu sekali, hingga beberapa saat mengucap perlahan “wah, ada yang sama ya dengan Ibu…” Bahkan saat terakhir Kakak dikabarin, secepat apapun mobil melaju, Kakak tetap terlambat untuk menemuinya di helaan nafas terakhirnya. 

Padahal semalam sebelumnya, Kakak memimpikan Juki yang kembali sehat, berdiri dan bertingkah sebagaimana biasanya. Apa itu jadi salam terakhir, cara ingin dia dikenang dengan baik? 

Lucu ya? Kakak kira akan terbiasa, nyatanya memang tidak ada yang akan pernah siap dengan jalan menuju kehilangan, berapa kalipun mengalami. Tapi bagaimanapun Kakak berusaha, ternyata memang berusaha Ikhlas adalah satu-satunya jalan keluar. Setidaknya, di beberapa hari terakhirnya, sudah Kakak suapi, temani, peluk dan ucapkan doa terbaik.

Kali ini, dia pulang ke rumah. Meski tidak lagi memilih tertidur di atas sofa atau sekitar kipas favoritnya. Meski tidak lagi merengek untuk minum dari gelas hijaunya. Meski tidak lagi mengikuti langkah siapapun di rumah untuk meminta jatah makannya. Meski tidak lagi menunggu dibalik jendela untuk meminta masuk. Meski tidak lagi bisa Kakak panggil untuk datang menghampiri. Meski Kakak harus kehilangan satu-satunya “teman” saat harus sendirian di rumah. Juki tetap memilih pulang dengan Kakak hingga saat terakhirnya.

Bu, sekarang rindu Kakak bertambah lagi. Tapi doa untuk Ibu akan selalu sama dan senantiasa terucap;

Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Aamiin.



Rumah, sehari setelah kehilangan (lagi).




No comments:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS