Entah Kenapa belakangan ini marak sekali berita tentang kasus bunuh diri yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bahkan dengan rentang jarak waktu yang tidak terlalu lama, aksi ini bahkan dilakukan oleh mereka yang terbilang masih muda. Alasannya ? Bahkan beragam. Mulai dari karena sakit hati, hingga depresi. Bahkan tidak pandang jenis kelamin, baik itu wanita maupun pria.
Disini, saya cuma bisa membaca berita yang muncul di berbagai media dengan mencoba menelaah
maksud dan tujuan para pelaku. Merasa legakah mereka sekarang atas hasil dari
apa yang sudah mereka lakukan ? Ataukah hanya itulah cara yang paling aman dan
masuk akal, yang mereka bisa lakukan untuk mengakhiri segala rasa sakit ataupun
masalah yang mereka rasakan? Just wondering.
Tidak
mencoba untuk menyalahkan para pelaku ataupun mereka yang disebut sebagai
penyebabnya. Tapi ya, bukankah untuk setiap asap akan selalu ada api yang
menjadi sumbernya ? Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sedikit bercerita
dan berbagi kisah, entah depresi atau tidak. Bukankah hampir setiap manusia
pasti akan merasakan namanya sakit hati, ataupun merasa keadaan sedang memburuk
? Begitupun saya, manusia biasa. Pasti pernah. Memiliki masalah yang kalo
diperumpamakan adalah “Gak berdarah, tapi kok sakit ya ?”. Bermacam-macam
alasannya. Tapi satu hal yang pasti adalah, yang paling berkemungkinan untuk
menyakiti seseorang dengan hebat, adalah mereka yang paling dekat dengannya, right ?
Dengan
segala asumsi dan kesotoy-an saya, entah kenapa saya merasa bahwa mereka yang
se-depresi itu hingga terpikirkan untuk melakukan aksi bunuh diri. Pasti sudah
se-sakit dan se-buntu itu untuk mengetahui arah ujung hidupnya. Feels like no one to staying
beside them, padalah gak perlu melakukan hal bermacam-macam. Cuma untuk tetap
ada dan memastikan bahwa suara mereka yang gemetar itu akan selalu ada yang mendengar,
entah sebenar atau sesalah apapun itu. Ataupun sekedar untuk bersuara, “It’s
okay to be not okay, let it out” dan menepuk pundak mereka. Karena rasa apapun
itu dan beban sebesar apapun yang mereka rasakan, bisa jadi adalah sebongkah
batu besar yang terbentuk tidak hanya dalam satu hari. Tertahan, tanpa sempat
memecah dan membelah diri terlebih dahulu.
Mungkin
juga mereka tengah mencoba untuk membangun dinding ke-optimis-an yang sempat
runtuh, beberapa dari mereka mungkin akan bisa menyelesaikan tepat waktu hingga
membentuk kastil yang tangguh, namun beberapa dari mereka memiliki lebih banyak
terjal, hingga akhirnya tak sempat menyelesaikannya. Bukan hanya satu, tapi
banyak. Bahkan dengan salah satu alasannya adalah untuk tidak menambah beban orang
lain, mereka menahan apa saja yang sudah sewajarnya mereka muntahkan, tapi
lagi-lagi harus mereka telan bulat-bulat. Tanpa sisa.
Tidak ada
satupun manusia di dunia ini yang menginginkan kehadirannya untuk menjadi beban
bagi orang lain. Tapi entah kenapa, rasa itu akan muncul. Persepsi negatif yang
mereka miliki akan diri sendiri, adalah buah hasil dari apa saja sikap yang
mereka terima di setiap harinya,entah itu dari lingkup keluarga maupun yang
lebih luas lagi. Beban akan lingkungan sekitar yang menuntut mereka untuk
menjadi pribadi yang lebih baik, dengan perlakuan dimana mungkin kurangnya rasa
apresiasi ketika mereka menang, dan tiadanya tempat kembali yang memaklumi
ketika mereka pernah salah karena telah berani untuk mencoba. Tanpa perlu
banyak tuduhan, tudingan hingga sikap yang menyudutkan baik secara verbal
ataupun fisik. Because no one who knows best than other, but themselves.
Akan selalu
ada luka yang mungkin tinggal dan tak terlupakan, untuk setiap penolakan yang
mungkin secara tak sengaja orang lain lakukan. Penolakan untuk diterima,
penolakan untuk didengar, hingga penolakan untuk sekedar berbagi cerita atas
alasan apapun, entah sebenar atau setidak masuk akal apapun itu. Sehingga
mereka akan menutup diri lebih rapat dari sebelumnya. Karena bukankah sudah
menjadi sifat alamiah, untuk melindungi diri dari sesuatu hal yang sekiranya
pernah menyakiti, mengantisipasi agar tidak merasakan sakit yang sama untuk
kesekian kalinya.
Perihal
kasus bunuh diri hanyalah satu dari banyak hasil pemikiran salah yang akhirnya "dibenar-benarkan" oleh sang pelaku, dan masih banyak lagi sikap yang seharusnya tidak dilakukan namun
terjadi di sekeliling, ketika kita mungkin lebih bisa membuka mata.
Jadi, untuk
mengantisipasi akan kejadian yang sama terjadi pada mereka yang kita sayangi, mungkin
jangan lagi terlalu menyalahkan siapapun
ataupun lemparan tanya kenapa mereka sebelumnya tidak pernah bercerita
ketika semuanya terlihat sudah terlambat, karena mereka sendiri pun adalah
korban. Lebih baik mulai tanyakan pada diri kita masing-masing. Apakah kita
sudah memberikan sedikit waktu tenang untuk menerima dan mendengarkan mereka?
Yuk, belajar sedikit lebih menerima dan mendengarkan dari biasanya.
Jambi, Akhir July 2017
Ketika tanda tanya dan rasa sedang bergumul menjadi satu, dan postingnya berhubungan dengan bahasan sebelumnya.
#stophatred #stopmentalillness
No comments:
Post a Comment