Sedikit bercerita akan keriuhan hati.
Maaf bila mungkin akan ada beberapa pihak
yang tidak menyetujui, tapi ini hanyalah sekedar cerita, bukan meminta
persetujuan ataupun pembenaran.
----------------------------------------------------------------------
Kembali berpijak di kota seberang yang
bukan termasuk kota besar, ternyata membuat saya belajar banyak hal. Meskipun
telah lama menginjakan kaki disana, ternyata akan lain ceritanya bila memasuki
dunia persaingan yang bukan hanya tentang riuh tawa canda ala seragam sekolah.
Sangat berbeda.
Bila dibilang daerah yang terpencil,
berarti kamu kurang jauh mainnya. Serius deh. Karena meskipun bukan salah satu
kota besar, namun kota ini sangat berpotensi dalam berbagai bidang, terutama
bisnis dan budaya. Banyak sekali kota-kota lainnya di Indonesia, yang memiliki
potensi besar apabila semakin dikembangkan seperti halnya kota-kota besar
lainnya.
Ah, klise. Bila memang jawabannya adalah
ketidakmerataan dalam hal anggaran daerah dan sebagainya. Buktinya di kota
besar sendiri juga masih berteman dengan kemirisan sosial -- Iya, miris melihat yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin-- di antara masyarakatnya. Tak pelak,
bahkan individualitas menjadi keseharian antara satu sama lain. Lupakan tentang
tenggang rasa ataupun gotong royong, yang seringkali terpatri dalam ingatan
ketika pelajaran PKN tiba. Akan semakin sulit sekali hal tersebut ditemui,
bahkan kekentalan darah atas nama keluarga pun bisa terasa amat cair, karena
berbagai kepentingan. Mereka yang tidak memiliki ikatan apapun, nyatanya bahkan
bisa amat sangat mengasihi satu sama lain.
Di samping segala ketidaknyamanan berada
di lingkup yang memiliki mobilitas tinggi di kota besar, ternyata banyak hal
yang sebenarnya sangat membuatmu bersyukur, salah satunya ketika persaingan
terasa sangat adil sesuai dengan kemampuan, ataupun semakin membuatmu tersadar
dan membangun pola pikir bahwa kota tanpa mati tersebut menjadikanmu lebih kuat
dari setiap harinya. Bukan karena persaingan yang membuatmu semakin terpojok.
Namun ketika melirik beberapa kota kecil
lainnya yang bisa dibilang agak tertinggal dari berbagai sisi, mungkin akan ada
kesenjangan sosial yang semakin terasa. Banyak yang tidak berkembang dengan
sempurna, bila dibandingkan dengan kota besar di sebelahnya. Tidak hanya
sindiran, cacian bahkan makian terkadang terlontar dengan mudahnya di berbagai
sudut kota, tanpa melsayakan sesuatu yang mampu mengubah aturan main yang (katanya) sudah berlsaya lebih lama dari usia
seriusmu dalam mencari jati diri.
Prihatin, kata yang ingin sekali saya deskripsikan
mengenai pola pikir beberapa penampakan manusianya. Dengan segala tumpukan
pengalaman, bukannya ingin berbagi kesempatan untuk mengembangkan potensi
positif di sekelilingnya, ternyata semakin membuat mereka semakin bangsat terkungkung
dengan pola pikirnya masing-masing. Mengais semakin banyak rezeki dengan pola
seadanya, menganggap semua kompetitor adalah serendah-rendahnya manusia yang
harusnya di singkirkan. How could you think like that, dude ?
Saya sedikit mengalaminya (tidak lebih banyak mungkin dari
kamu yang membaca tulisan ini), bagaimana sebenarnya pola pikir beberapa
manusia yang berada di kota kecil ini terkesan lebih sempit dari seharusnya.
Kamu bisa melihat banyak gigi rata senyuman manis didepanmu, namun ternyata
terkekeh menjatuhkan menyalip dibelakangmu. Ketika akhirnya merasa tersaingi,
ada pikiran bahwa segala hal bisa di jatuhkan dengan mencari pendukung dan
membangun pembenaran, lalu meluluhlantakkan tanpa ampun mereka yang bisa saja
sama sekali tidak berencana mengganggu jalannya. Semua atas nama lembaran
kertas berwujud rupiah.
Tersaingi ? Oh. Mungkin mereka merasa hal baru tersebut adalah sesuatu yang mungkin
akan menjadi suatu hal yang bisa menjatuhkan di masa depan. I see.
Lalu bagaimana bisa sebuah kompetisi
membuatmu menjadi jauh lebih rendah dalam berbagai hal --termasuk
mempertanyakan kemanusiaanmu ?
Tanyakan pada kalimat-kalimat yang terucap
dan pola pikir beberapa lingkup manusianya mengenai suatu hal baru, yang seharusnya
membuat mereka berpikir untuk maju sejauh-jauhnya. Namun nyatanya bahkan dengan
seadanya, mereka merasa jumawa paling tau dan bisa. Hahaha lucu sekali,
menyenangkan melihat berbagai karakter menganggap orang lain seakan anak kecil
yang berusaha menyerap semua cerita fantasi pengantar tidur, padahal sedang
menertawakan kepalsuan yang terpampang nyata di ujung mata.
Mungkin berbagai fenomena yang sudah
berlangsung lama di berbagai kota kecil ini, tidak jauh berbeda dengan kota
besar yang ada. Tapi kota kecil yang pernah jadi kesayangan ini, terasa jauh
lebih biadab tidak
bisa teraba, karena pola pikir beberapa manusia yang mengaburkan segala jalan
baik. Membuatmu menjadi krisis kepercayaan, hingga pada akhirnya yang bisa
kamu percaya adalah dirimu sendiri dan sedikit yang tersisa. Tidak ada lagi
hitungan sahabat yang mungkin sudah hampir 10 tahun lebih kenal, ataupun yang
baru datang dengan segala wejangan (sok) penuh moralitas.
Jadi, kini saya tidak akan mempertanyakan
lebih jauh mengapa perkembangan terasa berjalan lebih lambat di kota kecil yang
tersebar di berbagai lahan geografis Indonesia. Karena setidaknya, saya sudah
mengenal salah satu alasan besarnya. And
when I asked my self, "Why it feels so hurt ?", I know, it does
matter. I love this city, but I hate the phenomenons and their mindset.
Hopefully it could getting better ahead.
Pelajaran besar tahun ini : Dirimu akan jauh semakin terasa manusiawi--meskipun tidak ada pengsayaan
dari berbagai media massa ataupun sorakan riuh--, ketika berusaha maju
dengan cara tidak menjegal, menjatuhkan dan membunuh jalan mimpi orang lain.
July, 2016
Ketika akhirnya meluapkan pernyataan yang
menggulung di pikiran.
No comments:
Post a Comment