Surat untuk Ibu — Tujuh Belas

Saturday, August 09, 2025

 Assalamualaikum, Ibuku …

Bahkan hanya dengan menulis surat yang tidak akan pernah Ibu baca, Kakak terdiam cukup lama di depan halaman kosong. Kakak ingin mengeluh, ingin bercerita, ingin bertanya, bu. Entah sudah berapa kali, Kakak gagal mengirim pesan ke Ayah. Kakak takut, bu. Kakak capek. Padahal perjalanan Kakak mungkin masih lama, masih panjang sekali, bu.

Sekarang setiap harinya Kakak sudah harus selalu minum obat, bu. Kata dokter, hal pertama yang harus Kakak lakuin tuh untuk bisa menerima keadaan sekarang, harus bisa mengontrol semuanya. Dua bulan ini tuh berat banget buat Kakak. Banyak sekali perubahan hidup yang mendadak terjadi. Ternyata kepergian Ibu, belom cukup untuk Kakak belajar buat menerima perubahan besar yang gak pernah bisa Kakak ukur. Allah sayang banget kayaknya sama Kakak, bu. Allah pengen bilang, kalau Kakak pasti bisa, kan bu? Tapi gimana ya, bu? Kakak bisa ga ya, bu?

Kakak tau sedikit banyak, gimana rasanya menghadapi dan mendampingi yang sedang berjuang akan sakitnya, ga mudah, bu. Capeknya ada, emosinya ada, pasti ada fase ingin melepas walaupun tidak akan pernah sampai hati. Tapi Kakak juga takut sendirian, bu. Kakak takut jarum suntik. Kakak takut menghadapi vonis dokter. Kakak takut ketika mendengar hasil Lab. Kakak takut tiba-tiba tensi terlalu tinggi. Kakak takut untuk tahu bahwa obatnya masih terus berlanjut. Kakak takut usaha Kakak belum ada hasil yang significant. Kakak mau hamil, tapi takut dan kasihan nanti ia bahkan harus menerima obat sedari dalam kandungan. Kakak takut banyak hal, bu.

Andai Kakak bisa bertanya harus gimana, andai Kakak bisa pulang sebentar untuk memeluk, andai Kakak masih bisa tiba-tiba mengirimkan pesan singkat. Andai masih bisa, bu. Ternyata Kakak di umur segini, belum bisa apa-apa banyak hal, tanpa Ibu dan doa Ibu.

Tapi kayaknya, Kakak harus kembali belajar buat berani sendiri, bu. Kakak dulu bisa kok berusaha untuk bisa menghadapi hidup sendiri dan jauh dari Ibu. Kali ini, harusnya Kakak tetap bisa ya, bu.

Memarnya akan sembuh, bekasnya akan hilang, hidup akan baik-baik saja, bu. Walaupun perlahan, tapi Kakak pasti bisa. Selama Kakak masih punya Allah.


Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Aamiin.


Dalam kepasrahan, hanya Allah yang maha tau.


Surat untuk Ibu — Enam Belas

Friday, May 23, 2025

 Assalamualaikum, Ibuku…

Ternyata surat kali ini, sudah ada draftnya dari november tahun lalu. Tapi hidup sedang terlalu riuh, dan berusaha untuk dinikmati. Jadi maaf ya, surat kali ini agak terlambat.

Hampir setahun ini, banyak hal yang terjadi, bu.

Pertama kalinya Kakak menggantikan tugas Ibu, membawa adik ke pintu rumah tangganya. Menemani ayah dalam tangisnya yang lebih kencang, melepaskan anak lelaki satu-satunya. Bisa gitu ya bu, Kakak belum tau rasanya memiliki anak, tapi sudah tau bagaimana melepaskan mereka untuk harusnya jadi lebih mandiri—tidak sepenuhnya tau sih. Tapi…. Oh gini ya rasanya. At least, I was learned, and will know better when the times come, ya kan?

Bu, lucunya beberapa bulan terakhir, banyak sekali rumor bahwa nantinya Kakak harus bersiap melepaskan ayah, jika harus ada orang baru yang menempati posisi Ibu. Kakak egois banget ya kalo ternyata belum sesiap itu? Karena posisi Ibu, belum bisa tergantikan oleh siapapun. Bagi Kakak. Lebih lucu lagi, mereka yang terkadang berucap, adalah mereka yang belum kehilangan Ibunya—separuh dunianya, tapi merasa lebih tau bagaimana masa depan seharusnya, ironis ya?

Kadang Kakak bingung, ada masanya Kakak bisa menanggapi segala hal dengan ucap penuh tawa, but somehow it turns to cut me deeper than I ever realized. Ada lubang yang gedeeeeeee banget masih tinggal di dalam diri Kakak. Padahal ga ada yang salah, tapi rasanya benar kosong. Entah kapan akan sedikit demi sedikit bisa terisi kembali.

Oh iya, kemarin tepat di dua tahun, Kakak sudah bisa pakai baju yang sama lagi. Tapi dengan kondisi yang berbeda bu. Kakak bertemu teman, berbincang, tertawa dan sorenya bareng doain Ibu lewat video call, bareng adek dan cucu pertama Ibu! Pertama kalinya dia ketemu Jiddah, walaupun banyaknya bolakbalik tampak penasaran.

Bu, semoga rindu dan doa kami semua bisa terdengar ya, meringankan dan memeluk Ibu dalam kesendirian. Jalan kami masih panjang untuk selalu menitipkan doa pada yang Maha Kuasa, dalam salah satu cara merindukan belahan hati kami.

Rabbighfirli waliwalidayya warhamhuma kamaa rabbayani saghira. Aamiin.



Kakak yang sedang rindu, di rumah.





 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS