Entah apa yang lebih menyakitkan, daripada meminta maaf atas kehadiran dan rasa membutuhkan yang dimiliki.
Perempuan itu kembali mengumpulkan serpihan waktu yang berserakan di ingatannya. Tentang bejana akan kenangan yang tertumpah dan mengalir bebas. Membawanya mengitari hari demi hari, musim demi musim. Dengan orang yang sama, tapi kejadian di rentang waktu yang berbeda. Perempuan dan lelaki itu.
Kebersamaan yang meninggalkan jejak berusaha untuk menggapai kembali permukaan hati. Laksana mimpi indah, perempuan itu terpana pada satu titik, dimana tawa sang lelaki menjadi alunan melodi paling indah kesukaannya, Serta genggam tangan sang lelaki yang mengisyaratkan bahwa semuanya akan menjadi baik-baik saja pada akhirnya. Ketika itu semua indah layaknya cerita dongeng di masa kecil. Harapan sang perempuan pun juga masih sama, seperti kisah akhir sang putri dan pangeran impiannya, berakhir indah.
Seakan terlalu berkeyakinan, bahwa Tuhan sudah terlebih dahulu menuliskan cerita mereka dengan tinta emasnya. Tinta keabadian.
Beranjaklah sang perempuan menuju suatu tempat penuh rasa damai, dengan ditemani deburan ombak sore hari, ia mencoba menyusuri pesisir pantai dengan sejuta kenangannya. Waktu dimana kaki sang lelaki menjejak dan meninggalkan bekas, begitu juga rasa yang tertinggal di hidup sang perempuan. Tak terhapus meski ombak kecil permintaannya untuk menghilangkan sudah terlalu tinggi, bagaikan terukir pada sebuah batu, tak mampu untuk terhapus dalam waktu singkat.
Perempuan itu sadar bahwa hanya si pemilik jejak yang mampu menghaluskan goresan cerita yang tertinggal, tapi ia juga sadar bahwa akan ada goresan dengan relung yang lebih dalam kala ia semakin berharap. Entah goresan itu akan terasa sangat menyakitkan atau malah membuatnya bersenandung. Mematikan logika, hanya tersisa rasa.
Hidupnya sudah terlanjur tergores oleh cerita yang dilalui bersama sang lelaki, dan kemanapun ia mencoba berpindah, goresan itu seakan mengikutinya dan berusaha mengingatkannya. Seegois apapun mohon yang ia minta untuk mematikan rasa, namun rasa sang perempuan malah mengukuhkan diri di tempatnya. Membuatnya menjadi candu akan kehadiran sang lelaki. Meski terkadang rasa yang ia miliki tak tersentuh oleh sang lelaki, yang entah ia sadar atau tidak bertindak mengegoiskan diri dan mengedepankan rasa tak acuhnya, hingga bersembunyi di balik ketidakmampuannya dalam berbuat.
Akhirnya, disinilah ia berdiri. Titik dimana perempuan itu membutuhkan sang lelaki lebih jauh, kini dan entah sampai kapan.
Aku meminta maaf untuk rasa membutuhkan yang terkadang terlalu besar. Percayalah, aku nyatanya sedang mencoba menunggalkan rasa yang sudah menjamakkan dirinya, dalam diriku.
Jakarta, November 2014
Cerita untuk melepas rasa penat
No comments:
Post a Comment