Dear, Kamu.
Pernahkah kamu merasa bahwa kaki sudah terlalu lelah untuk menajajaki hari dan memilih sesuatu?
Pernahkah kamu merasa bahwa tangan sudah terlalu letih untuk menghapus peluh dalam pencarian?
Pernahkah kamu merasa bahwa hatimu sudah terlalu lemah untuk kembali mengembalikan rasa menjadi utuh ?
Aku pernah, dan kala itu, hati telah memilih untuk berdiam. Meski kaki masih ingin beranjak dan tangan ingin bergerak. Kala itu, hati telah memilih untuk tinggal. Meski kaki masih ingin berlari menyusuri dan tangan ingin merajah. Kala itu, kala aku melihatmu.
Banyak hal yang datang silih berganti, serasa menjanjikan masa depan pun berusaha menggoyahkannya. Ketika akhirnya yang aku lihat adalah tetap kamu, dan hanya kamu. Aku merasa segalanya menjadi baik-baik saja. Tidak peduli berapa banyak harus air mata menjelajah pipi, dan tangan menutup mata untuk sesekali membutakan pandangan. Selama ada tangan yang mendekap dan membuatku harus menghentikan tangis, tanganmu. Karena aku sadar, apapun yang terlalu hebat di akhir tidak akan pernah mudah untuk di lakukan pada awal dan prosesnya.
Entah sudah berapa kali aku merengek manja, meminta sesuatu bahkan hanya bertubi-tubi pelukan darimu sebelum akhirnya kita berpisah, dan kamu kembali ke rumah. Sungguh, aku sedikit merasa kesal untuk memiliki pertemuan denganmu, karena akan selalu ada rindu yang menggebu dengan lebih hebatnya, ketika perpisahan terjadi, meski hanya untuk beberapa saat. Entah sudah berapa kali aku menyebutmu terlalu egois untuk lebih mementingkan sesuatu daripada keberadaanku. Merasa bahwa apapun tentangku harusnya menjadi utamamu. Tapi entah sudah berapa kali pula, kamu merendahkan ego dan mengikuti mauku. Mencoba menggenggam kala aku mencoba melepaskan serta membuatmu menjauh, dan membuatku menjadi yang utama ketika seringkali luput aku sadari maksudnya. Entah sudah berapa kali juga, akhirnya kamu membuatku harus menancapkan rasa tak mampu kehilangan atasmu dengan lebih hebat, tanpa perlu kamu pinta.
Tak perlu harus benturkan kepala untuk kehilangan akal sehat, bagiku, cukup mendadak kamu mencoba untuk membalikkan harapan saja sudah mampu membuatku tak tentu arah. Seakan, esok sudah menjadi pudar di pandangan. Ketika hari aku membuat kesalahan yang menorehkan rasa luka, membuatmu menelan rasa perih. Tanpa sadar aku tak henti memohon agar Tuhan menghilangkan rasa perih tak bertuan itu, memberikan aku kemampuan untuk membalutnya dengan rapi meski butuh waktu yang entah harus berapa lama. Pun, ingin aku berdiam di depan pandangmu, untuk akhirnya kamu mau kembali menjatuhkan pandangan untukku kembali.
Aku tidak mengerti secara pasti bagaimana luka itu mampu membuat jantungmu berdegup lebih kencang karena emosi, tidak mengenal secara benar bagaimana luka itu mampu membuat harimu menjadi tidak terasa benar. Satu hal yang aku tahu pasti, aku mencintaimu dengan akhirnya merasakan bahwa rasa sakit itu nyata adanya.
Di dalam untaian tulisan yang mungkin saja hanya akan kamu baca sekilas, ataupun ketika kamu terlalu lelah untuk mengeja, karena kegiatan tanpa henti terlalu menyita waktu. Aku meminta maaf untuk setiap tetes air mata yang entah kenapa tak mampu aku halangi untuk mengalir. Aku meminta maaf untuk melihatmu dengan tatapan yang entah seperti apa aku tak bisa menjelaskan. Karena tidak peduli harus berlari sejauh mana lagi, untuk akhirnya bisa menggenggammu dengan nyata. Tidak peduli sudah berapa kali aku menekan rasa takut akan sekeliling, untuk akhirnya bisa mendengar suaramu yang melegakan. Tidak peduli kemarin atau nanti akan datang seseorang yang lebih hebat kedalam kehidupanku, aku hanya ingin mencoba untuk berhenti di kamu.
Untuk segala kata dan rasa yang terlalu perih untuk di jabarkan,
aku melepaskan segala hal tentang keegoisan,
aku meminta maaf, maaf, maaf.
Terimakasih untuk pernah dan masih membuatku merasa bahwa masa depan terasa begitu nyata,
Terimakasih untuk membuatku ingin terus bertahan,
Terimakasih untuk tetap tinggal,
Kamu.
Dari seseorang yang mencoba untuk tetap ada pada segala tentangmu,
aku.