Masihkah disana kamu bisa mengingat bagaimana kita menghabiskan hari
ketika hujan turun ?
Banyak yang beranggapan bahwa
rintikan air hujan akan terkoneksi langsung dengan kenangan yang mengendap di
pikiranmu. Banyak juga yang berpikiran bahwa hujan, akan membawamu kembali
bernostalgia.
Harus bisa bertahan meski kemudian tak tahu harus kemana, harus bisa
kembali bangkit meski tertatih.
Anggapan dan pemikiran tentang
hujan seringkali mengingatkanku tentangmu. Bukan karena pada akhirnya langkahmu
yang membelakangiku dan tak kembali, bukan juga karena air mataku yang
tersembunyi dalam senyum yang mengiringinya. Bukan itu yang mau aku kenang
kembali. Ini tentang kebersamaan yang dulu pernah ada.
“Bukankah tidak selamanya hujan ini akan turun ? kenapa kita tidak
mencoba berlari saja ? Ah. Kamu pasti takut basah ya ? Kamu tau bahwa mungkin
saja hari ini zeus sedang marah makanya banyak sekali bunyi petir….”
Celotehmu saat itu benar-benar
lucu, membuatku tersenyum dan lambat laun yang aku dengar hanyalah rintik hujan
dan naik turun suaramu yang sepertinya sangat menyita pikiranku. Kamu tidak
bisa fokus hanya kepadaku, matamu seolah memiliki pilihannya sendiri untuk
melirik kesana kemari. Kebiasaanmu yang sangat aku hafal di luar kepala.
Semakin deras suara hujan diluar, kamu semakin menjadi untuk berkomentar,
bercerita tentang apapun yang bisa kamu ceritakan.
“Kamu melamun ya ? Kamu denger gak sih ?”
Hingga kalimat itu menyentakku
dari lamunanku tentang kamu, senyumku tidak mampu dibendung. Pertanda bahwa aku
mendengarkan, bahkan di tiap hela nafasnya. Pada akhirnya kamu akan terus berceloteh dan
sesekali menggerutu. Wajah itu, yang membuatku tahan untuk berlama-lama duduk
dan perlahan menyesap susu cokelat panas kesukaanmu sambil mendengarkanmu
dengan seksama.
Kamu seorang lelaki yang tidak
terlalu menyukai rasa pahit dan asam, maka dari itu kamu menyukai susu cokelat
manis. Kamu menyukai ketika hujan turun, karena bagimu hujan adalah caramu
mengingat bagaimana rasanya menjadi damai. Kamu menyukai berlama-lama di sebuah
toko buku bukan hanya karena kamu suka membaca, bagimu ada sensasi tersendiri
untuk berada disana. Ketika kamu mulai mengerutkan dahi, itu menjadi pertanda
bahwa ada hal berat yang sedang memenuhi pikiranmu. Lesung pipi itu, yang
membuatku gemas dan seringkali tanpa sadar membuatku menggigit bibir bawah,
menahan rasa ingin sekali menciumnya bertubi-tubi. Aku menyukainya. Segalanya
tentang caramu berjalan, tertawa, berbicara bahkan ketika kamu memerlukan waktu
untuk berdiam diri dan melamunkan sesuatu.
Hingga pada suatu hari, aku tidak
tau harus menyukaimu ketika berbicara dengan serius atau tidak.
“Aku bingung harus mengatakannya dari mana. Kamu tau mimpiku ? Aku
ingin sekali bisa menginjakkan kaki di sana. Bagiku, kesempatan ini tidak akan
datang untuk kedua kalinya. Aku rasa, aku harus mengambilnya. Bagaimana
menurutmu ?”
Aku bukannya tidak tau bagaimana
kamu sangat menggilai salah satu club bola inggris itu, Manchester United.
Meski besok harus ada pertemuan penting, kamu akan bertahan di depan televisi
ketika club kesukaanmu sedang bertanding. Kamu memiliki hampir semua jersey
terbarunya. Kamu meyakinkanku bahwa permainan bola itu menyenangkan untuk
diikuti, meski kamu tau bahwa aku akan kembali menemanimu sambil bertanya
tentang macam hal, tapi akan kamu jawab dengan sabar dan lembut. Kamu tahu
bahwa aku tidak terlalu mengerti tentang permainan bola bundar itu. Hingga
akhirnya ternyata tawaran pekerjaan dari kantormu, bisa mengabulkan impianmu
untuk menjejakkan kaki di sana. Di Manchester. Lalu, aku bisa apa ?
Banyak orang yang bilang bahwa
mimpi akan selalu bisa menjadi kenyataan, dan bagi kamu hari ini adalah
kenyataannya. Lalu lalang mereka yang sedari tadi tak henti, tak mampu
mengalihkanku kembali dari menatap wajahmu. Aku ingin merekamnya, menyimpannya,
sebelum akhirnya nanti kamu akan menghilang untuk tak tahu sampai kapan. Meski
kamu berjanji akan mencoba segala cara untuk menghubungiku nantinya, berjanji
untuk segera kembali menemaniku ketika semua urusanmu selesai. Tetapi aku hanya
bisa berharap kamu tidak melupakan bagaimana kita menghabiskan waktu ketika
hujan. Hanya itu.
Entah sudah berapa hari yang
terlewat ketika hujan turun dan kamu tidak bisa menemaniku. Bukan karena jarak
yang kini memisahkan kita, bukan pula karena kamu tak pernah mencoba
menghubungiku. Tapi karena kecelakaan pesawat di hari hujan ketika
keberangkatanmu tiba, yang membuatmu tak mampu menepati semua janjimu. Kabar
yang hingga kini seakan membuatku tak percaya, bahwa kamu pergi ketika mimpimu
akan segera tercapai. Kini aku hanya bisa sendirian menyesap pelan-pelan susu
cokelat sambil mencoba kembali menikmati hujan, sembari mengingatmu dalam
kenangan.
Entah haruskah aku tetap mencintai hujan karena kenangannya tentangmu, atau membencinya karena telah mengambilmu
dariku ?